Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Neraca Dagang Defisit, Pinjaman Valas Merangkak Naik

Tren pinjaman yang diterima perbankan dalam bentuk valuta asing (valas) terus merangkak naik. Kebutuhan valas di dalam negeri menjadi satu kontributor utama.
Ilustrasi Dolar AS/Reuters
Ilustrasi Dolar AS/Reuters

Bisnis.com, JAKARTA – Tren pinjaman yang diterima perbankan dalam bentuk valuta asing (valas) terus merangkak naik. Kebutuhan valas di dalam negeri menjadi satu kontributor utama.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pinjaman yang diterima bank dalam bentuk valas senilai Rp239,9 triliun atau naik 29,9% secara tahunan (year-on-year/yoy). Angka pertumbuhan tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan posisi awal 2018, di mana pinjaman dalam bentul valas yang diterima perbankan naik 16,9% yoy menjadi Rp184,68 triliun. Pada tahun sebelumnya pinjaman valas sempat tumbuh hanya 6,7% yoy.

Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. David E. Sumual menjelaskan bahwa kebutuhan bank besar tercatat akan terus naik. Pasalnya Indonesia terakhir masih membukukan defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit/CAD).

 “Mereka [bank besar] itu butuh refinancing, para pelaku usaha itu banyak impor barang modal,” katanya kepada Bisnis, Rabu (10/4/2019).

Hal itu pun didukung oleh likuditas valas yang mengetat selama beberapa waktu terakhir. Permintaan kredit valas melaju lebih kencang dibandingkan dengan simpanan dalam bentuk mata uang asing tersebut.

Data OJK mencatat rasio kredit terhadap simpanan (loan to deposit ratio/LDR) valas berada pada posisi 100,5% per Januari 2019. Rasio LDR membukukan tren kenaikan sejak awal 2018, di mana posisinya masih kurang dari 94%.

David menambahkan bahwa suku bunga  di negara lain juga terbilang lebih menarik dibandingkan dengan Indonesia. Biaya dana yang lebih murah untuk memenuhi kebutuhan likuiditas valas membuat bank mencari pinjaman dari luar negeri. 

“Mereka, misalnya lebih baik pinjam Yen lalu konversi ke rupiah, lalu disalurkan menjadi pinjaman,” tambahnya.

Seperti diketahui perbankan Jepang tengah kesulitan untuk berekspansi karena pertumbuhan ekonomi di negara tersebut rendah. Alhasil di tengah tren kenaikan suku bunga acuan The Fed, perbankan di Negara Sakura menahan diri untuk mengikuti kebijakan bank sentral Amerika Serikat. 

Namun selain faktor-faktor tersebut, menurut David akselerasi signifikan pertumbuhan pinjaman yang dilakukan bank dalam bentuk valas juga naik karena disebabkan oleh melemahnya rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Pada pertengahan tahun lalu, rupiah melemah hingga 12% terhadap dolar AS. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper