Bisnis.com, JAKARTA — Belum lama ini, saya jalan-jalan ke pusat belanja di Plasa Semanggi. Mal milik grup Lippo itu masih tetap rame seperti biasa. Namun, banyak gerai kecil-kecil di salah satu lantai yang sudah tidak lagi beroperasi alias tutup.
Dulu di lantai itu banyak sekali gerai fesyen dan busana yang berjualan. Sekarang, ada yang sudah tutup ada yang masih bertahan. Saya berpikir, apakah ini yang disebut sebagai perlambatan ekonomi atau dampak dari disrupsi?
Kalau ekonomi melambat, logikanya semua kena dampaknya. Artinya kelas penjual di Mal Ambasador, ya mestinya juga tutup. Tapi kok enggak? Berarti bukan pelambatan ekonomi.
Saya lebih percaya itu bagian dari pergeseran pola penjualan saja atau memang mereka gagal menjaga kelangsungan usaha.
Sekarang ini, beda dengan bisnis zaman dulu yang masih mengandalkan pembeli ketemu sama penjual. Sekarang eranya memang sudah digital.
Apalagi Indonesia merupakan surga investasi bagi negara-negara lain. Nah, pertanyaannya, bagaimana agar bisnis kita tetap berkelanjutan di era teknologi. Ya tentu, pertama kita harus beradaptasi dengan teknologi itu.
Hal lain adalah peredaran perdagangan Indonesia itu seperti pembuluh darah tubuh. Darah tersebut bersumber dari term tempo pembayaran jalur perdagangan distributor tradisional.
Dibandingkan dengan banjir kredit bank raksasa terus menerus membesar, jumlahnya darah perdagangan itu seperti kurang darah.
Oleh karena itu jalur perdagangan distributor tradisional tersebut harus disodet atau diperbesar melalui kredit bank.
Selama ini, distributor merasa nyaman dengan cash on hand tagihan tempo pembayaran principal. Tidak bisa lagi. Perusahaan distributor harus naik kelas menjadi professional corporation bukan mencangkok ke perusahaan induk.
Penulis
Ir Goenardjoadi Goenawan, MM
Coach New Money-Motivator Uang
Untuk pertanyaan dan informasi buku elektronik terbaru, bisa diajukan melalui alamat: [email protected]