Bisnis.com, JAKARTA -- Pelaku industri asuransi meminta penerapan International Financial Reporting Standard (IFRS) 17 diundur hingga 2025 lantaran belum siap menerapkan dalam waktu dekat.
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Togar Pasaribu mengatakan pelaku industri asuransi jiwa pada prinsipnya memandang IFRS 17 sebagai hal yang positif sehingga mendukung penuh penerapannya. Kendati demikian, dia mengaku perusahaan asuransi jiwa belum siap menerapkan ketentuan tersebut.
“Mengingat IFRS 17 bukan sesuatu yang mudah implementasinya, bahkan membutuhkan biaya yang sangat besar untuk sistem IT & SDM, industri asuransi jiwa belum siap menerapkan IFRS 17 dalam waktu dekat. Kami minta penerapannya diundur ke tahun 2025,” ujarnya saat dihubungi Bisnis, Jumat (13/9).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Dody A.S Dalimunthe. Menurutnya, AAUI masih tetap melakukan koordinasi dalam tim task force yang telah dibentuk guna menginventarisasi potensi masalah-masalah penerapan IFRS 17 dan merumuskan solusi pemecahannya.
“Sebelumnya AAUI dan AAJI sudah menyampaikan surat ke Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia [DSAK IAI] dan OJK berupa usulan agar IFRS 17 diberlakukan tahun 2025 dengan asumsi industri asuransi sudah siap,” ujarnya.
Laporan Insurance Banana Skins yang diterbitkan oleh Centre for the Study of Financial Innovation (CSFI) dalam kerja sama dengan PwC menunjukkan bahwa penerapan IFRS 17 pada industri asuransi menjadi sebuah tantangan besar dalam beberapa tahun ke depan.
Baca Juga
Dalam laporan tersebut diungkapkan bahwa agenda regulasi standar akuntansi asuransi IFRS 17 dan perlindungan konsumen telah meningkatkan risiko kepatuhan dan biaya implementasi.
Riana Magdalena, Ketua Komisi Standar Praktik Aktuaria Persatuan Aktuaris Indonesia (PAI) mengatakan IFRS 17 belum sah diadopsi sebagai standar akuntansi Indonesia.
DSAK IAI masih belum memutuskan waktu penetapan adopsi IFRS 17 di Indonesia, meskipun draf adopsinya sudah keluar.
Riana mengatakan Indonesia agak terlambat dibandingkan dengan negara Asia Pasifik lainnya yang akan efektif menerapkan pada 1 Januari 2022.
“Nah, kalau global saja baru meraba2 untuk mengimplementasikan sesuatu yang baru, apalagi Indonesia yang kita terbiasa hanya memakai platform yang sudah jadi dari luar,” katanya saat dikonfirmasi Bisnis, Jumat (13/9).
David Wake, Financial Services Advisor PwC Indonesia menyatakan survey CFO Indonesia 2019 (CFO Survey Indonesia 2019) menunjukkan bahwa responden masih merasa bahwa penerapan IFRS 17 akan menimbulkan tantangan yang signifikan, terutama apabila mengharuskan adanya peningkatan sistem.
Regulasi ini akan lebih berpengaruh terhadap perusahaan asuransi jiwa karena tingkat kompleksitas yang lebih tinggi mengenai metodologi penilaian untuk produk-produk asuransi jiwa.
“Kurangnya kemampuan teknis dan sumber daya dipandang sebagai kesulitan terbesar dalam penerapan standar baru tersebut. Perusahaan cenderung membutuhkan fungsi aktuaria yang lebih kuat, sehingga meningkatkan permintaan di sebuah pasar yang telah kekurangan keterampilan aktuaria,” ujarnya.
Standar pelaporan IFRS 17 di seluruh dunia mengharuskan perusahaan asuransi untuk menggunakan tingkat diskonto saat ini untuk menilai kewajiban. Banyak responden menilai penerapan tersebut akan memakan investasi yang besar dan merupakan hal yang tidak perlu.
Para pemain asuransi global khawatir dengan adanya perubahan ini akan mempersulit perusahaan menghadapi perubahan yang juga terjadi pada perilaku konsumen seiring dengan perkembangan teknologi.