Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kecolongan Pengawasan, Masalah Jiwasraya Kian Membengkak

Gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya yang terus membengkak, dari Rp802 miliar pada Oktober 2018 menjadi Rp12,4 triliun pada akhir 2019, dinilai disebabkan oleh salah satu faktor yakni 'kecolongan' pengawasan.
Warga melintas di depan kantor Asuransi Jiwasraya di Jalan Juanda, Jakarta/Antara
Warga melintas di depan kantor Asuransi Jiwasraya di Jalan Juanda, Jakarta/Antara

Bisnis.com, JAKARTA — Masalah gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang terus membengkak, dari Rp802 miliar pada Oktober 2018 menjadi Rp12,4 triliun pada akhir 2019, dinilai disebabkan oleh salah satu faktor, yakni 'kecolongan' pengawasan.

Juru Bicara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sekar Putih Djarot menjelaskan bahwa pihaknya telah melakukan pengawasan terhadap Jiwasraya sejak Januari 2013, saat peralihan fungsi pengawasan dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK).

Kala itu, Jiwasraya mencatatkan surplus Rp1,6 triliun karena adanya upaya penyehatan keuangan melalui mekanisme financial reinsurance (FinRe). Jika upaya yang bersifat sementara itu tidak dilakukan, perseroan akan mencatatkan defisit Rp5,2 triliun.

Setahun sebelum OJK melakukan pengawasan, Jiwasraya telah menawarkan produk saving plan atau JS Plan yang menjanjikan return 9%–13% selama kurun 2013–2018. Selama masa pengawasan OJK, perolehan premi produk tersebut terus meningkat.

Pada 2012, saat pertama kali dipasarkan, Jiwasraya meraup premi JS Plan hingga Rp820 miliar. Jumlahnya terus meningkat, hingga puncaknya pada 2017 mencapai Rp16,54 triliun atau 75,3% dari total premi senilai Rp21,91 triliun.

Di titik puncak tersebut mulai ditemukan kejanggalan saat nilai cadangan Jiwasraya lebih rendah dari seharusnya (understated) setelah auditor independen melakukan audit terhadap Jiwasraya. Alhasil, laba perseroan per 31 Desember 2017 dikoreksi dari mulanya Rp2,4 triliun menjadi Rp428 miliar.

Menurut Sekar, kala itu OJK telah mengingatkan Jiwasraya untuk mengevaluasi produk saving plan dan menyesuaikan guaranted return sesuai dengan kemampuan pengelolaan investasi perusahaan. OJK telah mengendus adanya potensi masalah dari produk tersebut

"Dalam hal Jiwasraya akan menghentikan seluruh produk saving plan, maka perlu memperhatikan kondisi likuiditas perusahaan," ujar Sekar pada Kamis (19/12). 

Sejak awal 2018, OJK meminta Jiwasraya untuk menyampaikan Rencana Penyehatan Keuangan (RPK) yang memuat langkah-langkah penanganan masalah.

RPK itu ditandatangani direksi dan komisaris perseroan, memperoleh persetujuan dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), kemudian disampaikan kepada OJK.

Namun, upaya tersebut belum berbuah hasil, hingga puncaknya pada Oktober 2018 Jiwasraya mengumumkan tidak mampu membayar klaim jatuh tempo senilai Rp802 miliar.

Sejak itu, tata kelola perusahaan, pengelolaan manajemen risiko, dan koordinasi Jiwasraya menjadi poin pengawasan utama otoritas.

"Terhadap RPK yang telah disampaikan pada OJK, saat ini OJK melakukan pemantauan secara intensif melalui laporan realisasi RPK yang disampaikan Jiwasraya secara bulanan dan pertemuan rutin dengan manajemen Jiwasraya," ujar Sekar.

Pengamat asuransi Irvan Rahardjo membenarkan bahwa OJK telah melakukan pengawasan terhadap Jiwasraya sejak lama. Namun, dia menilai bahwa OJK 'kecolongan' dalam dua hal, yakni izin produk JS Plan dan pendalaman pasar.

Pertama, menurut Irvan, OJK lalai dalam memperbolehkan penjualan produk saving plan dengan fixed return. Hal tersebut menurutnya bukan hanya terjadi dalam kasus Jiwasraya, tetapi terhadap hampir seluruh pelaku asuransi.

"Produk saving plan berbungan tetapdan di atas rata-rata seharusnya sudah menjadi indikasi kebijakan produk yang tidak prudent," ujar Irvan kepada Bisnis, Kamis (19/12).

Selain itu, otoritas pun dinilai gagal dalam melakukan pendalaman pasar sehingga instrumen pasar yang ada menimbulkan crowding out.

Menurut Irvan, dalam situasi tersebut para emiten, bond issuer, perbankan, dan asuransi berebut likuifitas dengan tingkat persaingan tidak sehat.

Irvan pun menilai bahwa Kementerian Keuangan lalai karena turut menjadi pemburu likuiditas di pasar melalui Surat Berharga Negara (SBN), sukuk, dan Surat Utang Negara (SUN). Mudah diduga bahwa SBN akan menjadi pemenang dari instrumen-instrumen lain karena tingginya return.

Menurut dia, hal tersebut menyebabkan industri perbankan, asuransi, dan pasar modal, baik secara masing-masing maupun berkoalisi, menciptakan produk dengan janji imbal hasil tinggi bahkan hingga mencapai tingkat tidak masuk akal.

"Boleh jadi JS Plan adalah korban dari efek crowding out, sehingga menjanjikan produk dengan return tinggi. Pada akhirnya berujung default," ujar Irvan.

Kini, masaah di tubuh Jiwasraya tersebut menyebabkan kerugian negara hingga Rp13,7 triliun. Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin menilai bahwa hal tersebut terjadi karena adanya pengelolaan dana yang melanggar prinsip tata kelola.

"Jiwasraya sampai Agustus 2019 menanggung kerugian negara hingga Rp13,7 triliun, ini baru perkiraan awal. Diduga [nilai aslinya] akan lebih dari itu," ujar Burhanuddin, Rabu (18/12/2019) di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Rustam Agus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper