Bisnis.com, JAKARTA - Restrukturisasi pembiayaan syariah pada kuartal kedua tahun ini diprediksi akan meningkat signifikan seiring dengan cukup dalamnya dampak krisis kesehatan epidemi virus corona (Covid-19).
Pengurus DPP Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) Herwin Bustaman mengatakan epidemi Covid-19 direspon dengan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang membuat aktivitas ekonomi riil menjadi menurun. Padahal, ekonomi riil menjadi acuan utama dari pertumbuhan pembiayaan bank syariah Tanah Air.
"Sektor yang terkena dampak paling adalah adalah penerbangan, pariwisata dan perhotelan. Pelaku usaha sektor ini akan mulai mengharapkan restrukturisasi paling banyak, dan akan semakin besar lagi pada kuartal kedua tahun ini," katanya, dalam webminar Refinitiv dan KNEKS, Selasa (21/4/2020).
Dia mengatakan peningkatan restrukturisasi ini akan membuat kemampuan percetakan laba perbankan syariah tertekan. Meski demikian, Herwin menyebutkan kondisi likuiditas perbankan syariah diprediksi cukup terjaga lantaran relaksasi dari Bank Indonesia.
"Ada relaksasi likuditas, dan pemotongan giro wajib minimum yang membuat kecukupan likuditas masih cukup aman," katanya.
Direktur Syariah Banking PT Bank CIMB Niaga Tbk. Pandji P. Djajanegara sebelumnya mengatakan, meskipun data kuartal pertama 2020 belum dirilis, tekanan pendapatan lantaran tekanan restrukturisasi memiliki potensi yang cukup tinggi.
Dia menyebutkan pendapatan perseroan pada Januari dan Februari 2020 masih tumbuh cukup baik. Namun, belum dapat dipastikan apakah kondisi itu akan bertahan. Sebab pada periode tersebut tekanan restrukturisasi masih belum banyak.
Dari sisi liabilitas, perbankan akan menghadapi pertumbuhan giro yang lemah dan bahkan negatif akibat tertariknya simpanan untuk membiaayai beberapa pengeluaran tetap nasabah korporasi dan individu.
Sementara itu, dari sisi restrukturisasi, perbankan menghadapi arus kas masuk yang semakin rendah. Kondisi ini pun semakin diperparah dengan kualitas aset yang mungkin semakin memburuk akibat pembatasan kegiatan ekonomi.
"Seperti kita tahu, meski belum terlalu besar tetapi kualitas aset sudah turun pada tahun lalu akibat perang dagang Amerika Serikat-China. Jika tekanan ini ditambah dengan epidemi virus corona, maka dampaknya bisa sangat dalam," imbuhnya.