Bisnis.com, JAKARTA - Keputusan Bank Indonesia dalam penurunan suku bunga kartu kredit dari 2,5 persen menjadi 2 persen per bulan yang bakal berlaku pada 1 Mei 2020 tak dapat diubah lagi.
Di satu sisi, kebijakan ini memberikan angin segar bagi nasabah kartu kredit, tapi di sisi lain membuat tantangan bagi perbankan semakin besar dalam menjaga kinerja bisnisnya. Selain karena transaksi kartu kredit yang tampak sulit tumbuh ditengah krisis kesehatan ini, risiko default (gagal bayar) dari kredit tanpa agunan ini cukup memberatkan.
Sebagai informasi, sebelumnya, Bank Indonesia mengatakan telah berkomunikasi dengan Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) dan berharap dapat mendapat dukungan serta pengertian atas diambilnya keputusan atas penurunan minimum payment, denda, dan bunga kartu kredit.
“Kemarin dengan Asosiasi Kartu Kredit Indonesia kami bicara, ayo kawan-kawan ini lagi zaman susah, mari kita turunkan. Bagikan kemudahan dalam kartu kredit,” kata Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, belum lama ini.
Perry bahkan beralasan suku bunga kartu kredit memang telah harus diturunkan lantaran salah satu yang tertinggi dan kurang kompetitif di dunia.
“Suku bunga kartu kredit di Indonesia itu kan tertinggi dari seluruh dunia yakni 26,6 persen, mbok diturunkan. Ya kawan-kawan juga sepakat. Demikian juga mengenai batas maksimum dan yang lain,” tukas Perry.
Baca Juga
Di pihak lain, meski tetap menyambut baik keputusan otoritas moneter tersebut, Ketua AKKI Steve Marta mengatakan banyak tantangan yang harus dihadapi perbankan dengan keputusan tersebut. Dia menjelaskan penurunan transaksi sudah terlihat cukup jelas akhir kuartal pertama tahun ini.
Transaksi yang lebih kecil, menurutnya, akan menurunkan kemampuan penyedia jasa keuangan ini dalam memperoleh pendapatan dari setiap transaksi pun menjadi berkurang.
Meski belum semua data terkumpul, tetapi transaksi bulanan Maret 2020 telah turun 10 persen hingga 15 persen.
“Epidemi virus corona, ditambah dengan ekstensifikasi pembatasan berskala besar membuat banyak belanja masyarakat khususnya nasabah kartu kredit tertahan. Kami pun belum melihat akan adanya peningkatan dari relaksasi suku bunga Bank Indonesia,” katanya.
Dari suku bunga, dia pun mengakui suku bunga kredit yang ditetapkan oleh otoritas moneter terlalu rendah jika dibandingkan dengan rasio kredit bermasalah di kartu kredit perbankan yang masih berada di posisi 2,2 persen.
Dia melanjutkan dengan rasio non-performing loan (NPL) saat ini bank masih dapat memperoleh pendapatan yang tipis. Namun, kondisi akan semakin memberatkan perbankan jika rasio NPL ini semakin tinggi seiring dengan membesarnya permasalahan yang dihadapi sektor riil.
“Kami mengantisipasi akan ada kenaikan NPL, salah satunya dengan restrukturisasi. Namun perlu dicatat risiko default tersebut tidak hilang karena kemampuan nasabah telah berkurang. Belum lagi, kartu kredit adalah non colateral loan, yang artinya tidak ada bantalan agunan bagi bank,” tegasnya.
Sementara itu, Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan masih cukup optimistis aturan tersebut tidak akan banyak berdampak negatif bagi pelaku industri perbankan.
Bahkan, menurutnya, dengan relaksasi ini kemampuan bayar akan semakin besar dan justru menekan posisi NPL yang saat ini. Transaksi pun akan naik karena daya saing kartu kredit akan menyamai platform pembayaran lain termasuk dompet digital dari perusahaan teknologi finansial.
“Saya rasa justru akan positif. Daya saing produk ini akan meningkat dan pendapatan yang cukup baik bagi bank,” ujarnya.
Penurunan Kinerja Bisnis
Dihubungi terpisah, pelaku indsutri perbankan pun tetap menyatakan dukungannya terhadap keputusan Bank Indonesia tersebut. Namun, penurunan pendapatan akibat transaksi dan margin suku bunga yang menurun tak dapat terhindarkan.
"Kami dukung saja regulasi baru ini. Kami rasa ini untuk meringankan angsuran nasabah dalam masa sulit krisis kesehatan ini," kata Direktur Consumer Banking CIMB Niaga Lani Darmawan.
Meski akan ada penurunan pengahasilan, tetapi Lani mengatakan perseroan akan berupaya untuk menekan kembali rasio kredit bermasalah. Per akhir tahun lalu, kinerja kartu kredit emiten berkode BNGA ini mencapai Rp9,70 triliun, naik 12,8 persen secara year on year (yoy).
Rasio kredit bermasalah mampu di tekan 30 basis poin secara tahunan ke 1,50 persen. Namun, Lani mengatakan perseroan tak akan agresif dalam memasarkan produk kartu kredit tahun ini, meski pada kuartal I/2020, kinerjanya tumbuh di atas 10 persen.
"Produk kartu kredit pasti terdampak, kami sedang hitung untuk target penurunannya. Tapi belum formal target formal saat ini," katanya.
Lani menjelaskan, perseroan mengandalkan belanja wisata baik kuliner maupun perjalanan untuk mendongrak kinerja kartu kredit. Sejak kekhawatiran masyarakat di akhir kuartal pertama tahun ini serta ditambahnya kebijakan beberapa daerah untuk karatina wilayah, belanja tersebut langsung menurun sehingga berdampak negatif pada transmisi bisnis kartu kredit.
"Paling kalau ada yang masih bisa tumbuh itu dari belanja groceries debitur kami, tetapi itu tidak terlalu besar," ujarnya.
Terpisah, Direktur PT Bank Central Asia Tbk. Santoso Liem mengatakan akan terus berkoordinasi dengan regulator terkait detail kebijakan tersebut. Kami berharap proses ini dapat berjalan dengan baik.
"BCA akan senantiasa menyelaraskan kebijakan produk dan layanan sesuai kondisi terkini dan dinamika kebutuhan nasabah khususnya dalam perkembangan situasi pandemi Covid-19," katanya.
Sebelumnya, Executive Vice President Secretariat & Corporate Communication BCA Hera F Haryn pun menuturkan perseroan juga akan konservatif. Dia menyebutkan sejak awal tahun, BCA menargetkan pertumbuhan yang konservatif yang didasarkan pada perkembangan ekonomi global dan nasional yang dinamis.
"Prediksi tersebut saat ini akan menambahkan faktor perkembangan pandemi Covid-19 dalam perhitungan terbaru. Dengan pertimbangan tersebut, pertumbuhan kartu kredit akan menyesuaikan dengan kondisi terkini pasar domestik dan global," katanya.
Adapun, Hera memaparkan, hingga Februari 2020 perseroan mencatatkan penurunan pertumbuhan kredit konsumer 2 persen (year-to-date/ytd) menjadi Rp130,6 triliun.
"Penurunan tersebut terutama berasal dari kartu kredit yang turun sebesar 5,5 persen ytd menjadi Rp13,3 triliun. Di sisi lain pertumbuhan dari KPR sejalan dengan penurunan kredit konsumer sedangkan KKB tumbuh relatif moderat dibandingkan akhir tahun 2019.”
Kondisi memang serba sulit, dan memang merugikan banyak pihak. Namun, setiap keputuan harus tetap turukur dan memberi dampak terbaik bagi semua stake holder termasuk bank dan para pemegang sahamnya.