Bisnis.com, JAKARTA — Penyaluran kredit perbankan menunjukkan ketimpangan yang makin lebar antara segmen usaha besar dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dengan korporasi.
Data Bank Indonesia (BI) mengungkapkan bahwa pada Mei 2025, pertumbuhan kredit UMKM hanya mencatatkan kenaikan tipis 1,9% secara tahunan (year-on-year/yoy), melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 2,3% yoy.
Di sisi lain, kredit korporasi tumbuh jauh lebih tinggi sebesar 11,6% yoy menjadi Rp4.331,9 triliun. Meski sedikit melambat dari bulan April 2025 yang tumbuh 12,6% yoy, angka tersebut tetap mencerminkan tingginya fokus perbankan terhadap segmen usaha besar.
Lebih rinci, segmen usaha mikro mengalami kontraksi 1,9% yoy, meskipun secara nominal naik dari Rp621,5 triliun pada April menjadi Rp626,9 triliun. Kredit untuk usaha menengah juga mengalami penurunan 1% yoy menjadi Rp302 triliun.
Satu-satunya yang menunjukkan perbaikan adalah segmen usaha kecil yang mencatatkan pertumbuhan 9,6% yoy menjadi Rp472,3 triliun.
Secara keseluruhan, kredit UMKM per Mei 2025 mencapai Rp1.401,2 triliun, hanya naik tipis dari posisi April sebesar Rp1.400,1 triliun. Angka ini menunjukkan stagnasi yang kontras dibandingkan pertumbuhan kredit korporasi.
Presiden Direktur PT Bank CIMB Niaga Tbk. Lani Darmawan mengatakan bahwa UKM dan pinjaman ritel menyumbang sekitar 40% dari total portofolio kredit CIMB Niaga.
“Kredit UKM kami tumbuh sekitar 7%–8% yoy, namun tantangan utama tetap pada kondisi yang masih tidak pasti dan cost of fund [biaya dana] yang masih tinggi,” kata Lani kepada Bisnis.
Kondisi ini, lanjut Lani, membuat pelaku usaha di segmen UKM maupun non-ritel cenderung bersikap wait and see, apalagi daya beli masyarakat juga masih rendah.
Di sisi lain, Direktur Kepatuhan Bank Oke Efdinal Alamsyah menyampaikan bahwa hingga akhir Juni 2025, bank mencatatkan pertumbuhan kredit UMKM sebesar 7% secara year-to-date (YtD), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan kredit korporasi yang hanya 5% pada periode yang sama.
Meski begitu, Efdinal mengakui bahwa penurunan kredit UMKM secara umum bisa terjadi karena lemahnya daya beli, pemulihan ekonomi yang lambat, dan sikap perbankan yang lebih selektif untuk menghindari peningkatan rasio kredit macet (non-performing loan/NPL).
“Likuiditas yang ketat dan tingginya cost of fund membuat bank semakin berhati-hati dalam menyalurkan kredit ke sektor UMKM,” ujarnya kepada Bisnis.
Pengunjung mengamati produk UMKM pada perayaan hari ulang tahun (HUT) ke-51 Hotel Borobudur Jakarta, Minggu (23/3/2025). Bisnis/Himawan L Nugraha
PT Bank Central Asia Tbk. (BCA) juga mencermati ketimpangan ini, meski tetap aktif menyalurkan kredit UMKM secara selektif.
EVP Corporate Communication & Social Responsibility BCA Hera F. Haryn menyebutkan bahwa penyaluran kredit UMKM BCA tumbuh 10,5% yoy menjadi Rp130 triliun per Maret 2025, sementara kredit korporasi tumbuh lebih tinggi 13,9% yoy menjadi Rp443,4 triliun.
Dia menegaskbah bahwa menjalankan proses seleksi ketat, monitoring berkala, serta edukasi bagi pelaku usaha untuk menjaga kualitas portofolio kredit.
"BCA juga menawarkan suku bunga spesial untuk pelaku UMKM perempuan dan UMKM berbasis lingkungan, sosial, dan tata kelola (LST), serta menerapkan pendekatan adaptif terhadap kemampuan masing-masing debitur," sebutnya.
Sementara, PT Bank Mega Syariah mencatatkan penyaluran pembiayaan korporasi sebesar Rp4,4 triliun, meningkat hingga 30,24% secara tahunan hingga Juni 2025.
Guritno selaku Corporate & Business Banking Division Head Bank Mega Syariah menyebut bahwa realisasi itu mencakup sekitar 46,29% dari total pembiayaan Bank Mega Syariah sebesar Rp9,5 triliun pada periode yang sama.
“Penyaluran pembiayaan pada segmen korporasi tetap memberikan kontribusi maksimal terhadap bisnis bank. Catatan positif ini juga didukung oleh strategi bank dalam memperluas segmen Business-to-Business-to-Consumer,” katanya dalam keterangan resmi, Jumat (11/7/2025).
Lebih lanjut, pihaknya masih melihat peluang besar pada pembiayaan sektor industri infrastruktur, pembangkit listrik, agribisnis, mineral, energi dan hilirisasi industri.
Bank Mega Syariah disebutnya mengandalkan pembiayaan terstruktur atas kebutuhan investasi dan modal kerja bagi konglomerasi besar dan institusi yang kredibel, baik BUMN maupun swasta.
Selain itu, dengan adanya syndication desk di Bank Mega Syariah, dia meyakini bahwa pertumbuhan portofolio pembiayaan dapat tercapai melalui pembiayaan sindikasi untuk bersinergi dengan bank dan institusi keuangan lain.
Pihaknya membidik perusahaan yang mempunyai profil risiko rendah, tetapi mempunyai kapasitas keuangan dan daya tahan yang kuat. Hal ini ditujukan agar pertumbuhan bisnis perseroan tetap selaras dengan prinsip kehati-hatian
“Selain itu, pengembangan portofolio nasabah eksisting yang berkinerja baik juga terus dilakukan serta monitoring kualitas pembiayaan guna menjaga kualitas portofolio secara berkelanjutan,” tuturnya.