Bisnis.com, JAKARTA - Bank Jangkar atau bank peserta yang menjalankan fungsi channeling pada bantuan likuiditas pemerintah adalah yang termasuk dalam 15 katagori bank beraset besar.
Ketentuan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan atau Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan Atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional.
Lebih lanjut, regulasi yang diundangkan pada 11 Mei 2020 tersebut, juga mengatur kepemilikan saham bank jangkar. Setidaknya, 51 persen saham bank jangkar harus dimiliki Warga Negara Indonesia dengan berbadan hukum Indonesia.
Bank Jangkar nantinya akan ditetapkan oleh Menteri berdasarkan informasi Ketua Dewan Komisioner OJK.
Nantinya, Bank Jangkar berfungsi menyediakan dana penyangga likuiditas bagi bank pelaksana yang membutuhkan dana penyangga likuiditas. Namun, bank pelaksana tersebut setidaknya harus memenuhi sejumlah syarat.
Pertama, bank pelaksana telah melakukan restrukturisasi kredit atau pembiayaan ataupun memberikan tambahan kredit atau pembiayaan modal kerja.
Baca Juga
Kedua, bank pelaksana juga melakukan tambahan kredit atau pembiayaan bagi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) maupun Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) dan juga perusahaan pembiayaan.
Dalam menjalankan fungsinya, bank jangkar akan menerima dana penyangga likuiditas melalui penempatan dana yang dilakulan pemerintah.
Bank Jangkar kemudian menyalurkan dana bantuan likuiditas tersebut kepada bank pelaksana yang berkatagori sehat dan memiliki SBN, Deposito Bank Indonesia, Sertifikat Bank Indonesia, Sukuk Bank Indonesia, dan Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang belum direpokan tidak lebih dari 6 persen dari DPK.
Nantinya, transaksi antara Bank Jangkar dengan Bank Pelaksana akan diatur dalam suatu perjanjian antara kedua belah pihak. OJK maupun otoritas berwenang dapat memberikan informasi yang dibutuhkan Bank Jangkar dalam menyediakan dana bagi bank pelaksana.
Apabila bank jangkar nantinya mengalami permasalahan, penanganannya aman diserahkan kepada Lembaga Penjamin Simpanan yang mengutamakan pengembalian dana pemerintah.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso sebelumnya mengatakan dengan hanya memiliki fungsi channeling, bank jangkar tidak akan memiliki tanggung jawab sama sekali. Bahkan, sebagai channeling, bank jangkar justru dinilai akan diuntungkan.
"Jadi channeling saja, betul. Bank peserta itu tidak mendapatkan risiko apa-apa, malah profit," katanya belum lama ini.
Sementara itu, risiko kredit dari kredit yang direstrukturisasi dan dijadikan jaminan tetap menjadi tanggung jawab bank bersangkutan. Pemerintah hanya menanggung risiko pada bank peserta atau tempat pemerintah menempatkan dana.
Tanggung jawab kredit justru tetap melekat pada bank yang melakukan penggadaian. Apabila, bank bersangkutan tidak bisa membayar pinjaman likuiditas, akan menimbulkan risiko pada pemerintah.
"Nah, itu risikonya ada di pemerintah kalau sampai bank pelaksana yang menggadaikan itu tidak bisa membayar gadaiannya," katanya.