Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom menyampaikan risiko kredit (loan at risk/LaR) berpotensi kian meningkat meski kenaikan rasio kredit bermasalah perbankan dapat ditahan karena relaksasi yang diberlakukan otoritas di tengah masa pandemi virus corona (Covid-19).
Chief Economist Bank BNI Ryan Kiryanto mengatakan pelaku pasar dan analis di pasar modal saat ini lebih memberikan atensi pada peningkatan LaR perbankan daripada peningkatan rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL).
Ryan menjelaskan risiko kredit merupakan pinjaman yang sedang direstrukturisasi, berpotensi di-downgrade atau menjadi kredit bermasalah apabila debitur tidak mampu membayar angsuran cicilan.
"Sekarang pelaku pasar, analyst capital market lebih memperhatikan LaR karena menggambarkan kondisi objektif yang terjadi pada kredit yang disalurkan ke debitur," katanya, Kamis (4/6/2020).
Ryan mengutarakan posisi LaR suatu bank dapat membuat analis memberikan valuasi apakah investor layak membeli, melepas, atau menahan saham emiten bank tersebut.
"Semakin besar LaR suatu bank, equity atau stock-nya akan dilepas investor, karena LaR yang tinggi jika gagal dalam melakukan restrukturisasi, hampir pasti real NPL naik," jelas Ryan.
Baca Juga
Lebih lanjut, dia mengatakan kenaikan NPL tersebut akan memaksa bank membentuk cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN), sehingga akan menyebabkan laba bersih bank menjadi tergerus.
Di samping itu, menurut Ryan, bank juga harus mencermati kredit yang sudah menjadi NPL sebelum adanya pandemi dan relaksi restrukturisasi dari otoritas.
"Memang ada kelonggaran POJK 11/2020 yang membuat NPL bisa ditahan. Namun, NPL yang terjadi sebelum Covid-19 masuk ke Indonesia dan di luar skema POJK 11/2020, harus tetap bisa diperhitungkan," katanya.
Dia memprediksi, dengan situasi yang penuh ketidakpastian, rasio NPL sebelum dan sesudah adanya pandemi Covid-19 akan semakin meningkat.