Bisnis.com, JAKARTA - Industri asuransi jiwa dinilai akan mencairkan sejumlah instrumen investasi pendapatan tetap seperti deposito untuk menjaga arus kas selama masa pandemi Covid-19, seiring masih rendahnya kinerja pasar modal.
Ketua Sekolah Tinggi Manajemen Risiko dan Asuransi (STIMRA) Hotbonar Sinaga menjelaskan bahwa pada masa pandemi virus corona ini memang terdapat penurunan tingkat klaim asuransi, seiring kekhawatiran masyarakat untuk berobat ke rumah sakit. Namun, perolehan premi pun ikut menurun.
Berdasarkan Statistik Asuransi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), industri asuransi jiwa memperoleh premi Rp64 triliun pada Mei 2020. Perolehan tersebut tercatat menurun 12,54 persen (year-on-year/yoy) dibandingkan dengan Rp73,18 triliun pada Mei 2019.
Industri asuransi jiwa membayarkan klaim senilai Rp28,6 triliun hingga Mei 2020. Sejalan dengan perolehan preminya, jumlah klaim tersebut menurun 18,93 persen (yoy) jika dibandingkan dengan Rp35,3 triliun per Mei 2019.
Hotbonar yang merupakan Mantan Direktur Utama Jamsostek menilai bahwa dalam kondisi tersebut, kualitas arus kas menjadi kunci karena industri asuransi jiwa harus memastikan bahwa pelayanan, khususnya klaim harus tetap dibayarkan dengan baik.
"Untuk mendapatkan dana tunai langkah yang paling tepat saat ini adalah mencairkan instrumen investasi pendapatan tetap, seperti deposito, Surat Berharga Negara [SBN] atau obligasi yang sudah jatuh tempo, atau reksadana pendapatan tetap," ujarnya kepada Bisnis, Senin (27/7/2020).
Baca Juga
Menurut Hotbonar, pencairan instrumen investasi itu akan dilakukan jika terdapat peningkatan klaim dan perusahaan asuransi harus menambah kasnya. Porsi investasi di instrumen pendapatan tetap itu memang lebih kecil dibandingkan dengan yang ada di pasar modal, tetapi lebih aman untuk kondisi saat ini.
"Menjual atau melepas portofolio saham, apalagi yang di luar indeks LQ45 akan mengakibatkan capital loss karena indeks harga saham gabungan [IHSG] masih belum membaik atau recover," ujar Hotbonar.
OJK mencatat bahwa total aset investasi industri asuransi jiwa per Mei 2020 mencapai Rp426,2 triliun, turun 8,12 persen (yoy) dibandingkan dengan posisi Mei 2019 senilai Rp463,9 triliun. Penurunan total investasi itu sejalan dengan turunnya nilai investasi pasar modal, yang porsinya cukup dominan dibandingkan instrumen lain.
Investasi di instrumen deposito tercatat senilai Rp34,13 triliun atau mencakup 8,01 persen dari total investasi asuransi jiwa. Lalu, investasi di instrumen obligasi nilainya mencapai Rp27,5 triliun atau 6,47 persen dari total aset investasi.
Adapun, investasi saham senilai Rp106,7 triliun mencakup 25,03 persen dari total investasi dan reksa dana mencapai Rp144,36 triliun atau 33,87 persen dari total investasi. Keduanya mengalami penurunan nilai, yakni saham 24,1 persen (yoy) dari Rp140,5 triliun per Mei 2019 dan reksa dana 14,3 persen (yoy) dari Rp168,4 triliun pada Mei 2020.
Total investasi di instrumen deposito dan obligasi senilai Rp61,63 triliun mencapai 215,5 persen dari total klaim yang dibayarkan industri asuransi jiwa pada Januari–Mei 2020. Artinya, menurut Hotbonar, pencairan dari instrumen itu pun masih dapat mencukupi kebutuhan arus kas industri.
"Bisa saja bila keadaan sudah amat mendesak, perusahaan asuransi meminta izin kepada OJK untuk dapat mencairkan deposito wajibnya. Seingat saya itu pernah terjadi, tapi dalam skala lebih kecil dan kondisi normal, tidak ada wabah seperti sekarang," ujar Hotbonar.