Bisnis.com, JAKARTA -- Konglomerasi sektor keuangan menjadi poin penting yang harus dibahas dalam rencana penyesuaian regulasi keuangan. Pasalnya, konglomerasi sektor keuangan memerlukan pengawasan agar tidak memberikan risiko pada perekonomian.
Direktur Manajemen Risiko PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Ahmad Siddik Badruddin mencontohkan dari empat bank terbesar di Indonesia yakni Mandiri, BNI, BRI, dan BCA memiliki anak usaha yang terus bertambah. Misalnya, pada 2000 BNI memiliki dua anak usaha yakni BNI Life dan BNI Nomura. Saat ini jumlahnya telah bertambah menjadi 5 anak usaha.
Adapun berdasarkan data yang dia punya, per Desember 2019, ada 48 konglomerasi keuangan yang menguasai 66 persen dari total aset industri jasa keuangan. Market share sebesar 66 persen tersebut setara dengan Rp10.500 triliun.
Lebih rinci lagi, 48 konglomerasi keuangan tersebut terdiri dari 34 industri perbankan yang mencapai 80 persen dari total aset industri jasa keuangan, 11 industri keuangan nonbank, dan 3 pasar modal.
Pertumbuhan anak usaha tersebut sejalan dengan kontribusi profit yang diberikan kepada perusahaan induk. Selain profit yang meningkat, adanya anak usaha yang terus bertambah itu pun membuat interkoneksi yang semakin kompleks.
Pasalnya, anak usaha bank tersebut bergerak hampir di berbagai sektor jasa keuangan seperti asuransi, perusahaan pembiayaan, dan capital market.
"Ke depan bagaimana stakeholder terutama regulator upgrade monitor untuk melakukan evaluasi risiko dari satu group konglomerasi keuangan," katanya dalam Forum Diskusi Finansial yang digelar Bisnis Indonesia, Selasa (1/9/2020).
Menurutnya, saat ini sudah ada beberapa POJK yang dipakai untuk memonitor berbagai macam risiko dalam sektor jasa keuangan. Hanya saja, masih perlu ada beberapa aspek yang ditingkatkan agar menjaga risiko dari konglomerasi keuangan yang tumbuh semakin cepat.
Apabila ke depan ada rencana penyesuaian regulasi industri jasa keuangan, yang harus menjadi porsi kajian penting adalah perbankan, asuransi, finance company, dan capital market yang ada di satu group. Pengawasan perlu dilakukan dengan membentuk framework atau pola efektif untuk melakukan pengawasan terhadap group ini.
"Supaya kalau ada inherent risk di bagian konglomerasi keuangan yang bisa berdampak apda perusahaan jasa keuangan lain dalam satu group dapat segera teridentifiaksi dan bisa ada action earlier," sebutnya.