Bisnis.com, JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengharapkan terbentuknya perusahaan reasuransi besar dalam negeri, yang mampu bersaing di skala internasional.
Anggota Dewan Komisioner merangkap Kepala Eksekutif Pengawas IKNB OJK Riswinandi mengungkap hal ini dalam Seminar Virtual Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI): Industri Asuransi Umum dan Reasuransi, Kamis (24/9/2020).
"OJK mendorong konsolidasi antarpelaku industri asuransi dalam rangka membentuk perusahaan reasuransi domestik dengan dukungan kapasitas retensi yang lebih besar, agar dapat menyerap risiko asuransi domestik dengan lebih optimal dan mengurangi defisit transaksi berjalan sektor asuransi," ungkapnya.
Selain mengurangi defisit neraca perdagangan, adanya reasuransi 'jumbo' skala nasional pun penting demi mempersiapkan industri reasuransi nasional yang pastinya bakal bersaing lebih keras, akibat kebijakan Peraturan OJK No 39/2020.
Riswinandi menjelaskan sebelumnya pemerintah dan OJK sepakat bahwa demi mengatasi defisit sektor asuransi, perusahaan reasuransi nasional perlu diprioritaskan.
Muncullah POJK 14/2015 tentang Retensi Sendiri dan Dukungan Reasuransi dalam Negeri, yang di dalamnya mewajibkan perusahaan asuransi memperoleh dukungan penuh dari reasuransi dalam negeri untuk risiko sederhana.
Di mana jenis risiko sederhana tersebut di antaranya, asuransi kendaraan bermotor, kesehatan, kecelakan diri, kredit, kematian, dan tanggung gugat.
Riswinandi pun mengakui defisit neraca perdagangan dari sektor jasa asuransi memang masih terasa begitu besar, bahkan sampai periode 2019.
Di mana nilainya mencapai Rp9,2 triliun, dari nilai outflow transaksi asurnasi ke luar negeri mencapai Rp11,12 triliun, berbanding inflow reasuransi luar negeri ke dalam negeri Rp1,9 triliun.
Namun demikian, kondisi perdagangan internasional membuat dukungan khusus terhadap reasuransi domestik semacam ini tak lagi relevan, sehingga muncullah revisi kebijakan ini, yang terbit pada akhir Juni 2020 lalu.
"Maka POJK 39/2020 ini terbit karena dinamika dari perdagangan internasional tadi, kita harus memberikan keleluasaan untuk meningkatkan efektivitas penyebaran risiko program reasuransi, namaun mendorong penyebaran risiko kepada reasuransi luar negeri ini dilakukan secara bertahap," tambahnya.
Relaksasi ini akan dilakukan secara bertahap, yakni mengurangi dukungan reasuransi dan reasuradur dalam negeri hingga 50 persen secara sampai akhir 2020 untuk jenis risiko sederhana, dan sampai 2022 untuk jenis risiko nonsederhana.
Namun demikian, OJK tetap mengatur batasan relaksasi terhadap dukungan reasuransu luar negeri, yaitu hanya dapat diberikan dalam hal dukungan reasuransi diperoleh dari reasuratur luar negeri yang berdomisili di negara mitra yang memiliki perjanjian bilateral dengan Indonesia.
"Oleh karena itu, perusahaan asuransi umum dan reasuransi domestik perlu meningkatkan kemandirian dalam hal peningkatan daya saing perusahaan untuk dapat berkompetisi dengan para reasuradur internasional," ujar Riswinandi.
Riswinandi pun berharap masifnya dukungan permodalan demi mengatasi gap size perusahaan reasuransi domestik, dan makin kreatifnya perusahaan asuransi umum dalam memaksimalkan skema business to business (B2B) untuk membantu reasuransi domestik tetap tumbuh.
Selain itu, Riswinandi mengingatkan dua hal yang tak kalah penting, yaitu peningkatan penetrasi asuransi di Indonesia, dan mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) unggul dalam mendukung pertumbuhan reasuransi domestik.
Harapannya, retensi risiko asuransi dalam negeri lebih optimal dan defisit transaksi berjalan di sektor industri asuransi pun mampu ditekan.