Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan komitmennya untuk ikut dalam pengawasan penggunaan anggaran di sektor kesehatan, terutama terkait pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK Kunto Ariawan menjelaskan bahwa pengawasan dibutuhkan karena sektor ini berhubungan dengan hajat hidup orang banyak dan melibatkan anggaran yang besar.
"Berdasarkan pengalaman di dunia internasional, khususnya di Amerika Serikat, bahwa kecurangan atau fraud di sektor kesehatan itu angkanya cukup besar, 5-10 persen," jelasnya, Kamis (22/10/2020).
Terlebih, program JKN sempat mengalami defisit mencapai Rp11,6 triliun pada 2014 sampai 2018, tetapi belum ada lembaga pengawasan yang ditunjuk secara spesifik untuk mengawasi program ini.
"Berdasarkan piloting kami ke tiga rumah sakit pada waktu itu, bersama BPJS Kesehatan dan Kementerian Kesehatan, masih menemukan ada kecurangan dari oknum RS," tambahnya.
Di antaranya, berupa klaim tidak tercatat, unnecessary treatment, atau kelas RS tidak sesuai. Kunto pun mengingatkan masih ada beberapa potensi modus korupsi di sektor kesehatan lainnya.
Hal ini menilik Global Corruption Report tahun 2006, di mana setidaknya ada lima modus yang kerap digunakan, yaitu phantom patients atau pasien fiktif, absenteeism atau tidak hadirnya petugas kesehatan, overbilling, over-provision, dan conspiracy seperti mark-up atau pengadaan fiktif.
Oleh sebab itu, KPK menilai awareness seluruh stakeholder mulai dari masyarakat selaku peserta, faskes, tenaga medis dan aparat penegak hukum harus ditingkatkan, demi mengurangi potensi fraud di masa mendatang.
Beruntung, data KPK sebelum era e-katalog atau kisaran tahun 2013 menunjukkan belum ada korupsi yang berhubungan dengan program JKN.
Sementara kasus di 2014 ke atas didominasi penyelewengan dana kapitasi seperti kasus di Kabupaten Subang pada 2016 dan Kabupaten Jombang pada 2018.
"KPK sudah menangani beberapa kasus korupsi di sektor kesehatan yang kebanyakan masih didominasi pengadaan, baik alat kesehatan maupun sarana dan prasarana," ujarnya.
Sementara itu, dalam penelitian KPK, terdapat 898 RS yang masih overpay atau tidak sesuai kelasnya dengan potensi over-payment sekitar Rp6 triliun.
Oleh sebab itu, KPK menyarankan penyelesaian Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) yang menyerap biaya klaim cukup tinggi sehingga mengurangi masalah di lapangan.
Kedua, kapitasi berbasis kinerja. Pasalnya, banyak fasilitas kesehatan tingkat pertama yang menyampaikan kapitasi berdasarkan jumlah tenaga kesehatan, bukan kinerjanya.
"Misalnya berapa kontak dia dengan pasien, berapa rujukan yang dia keluarkan. Itu belum dimasukkan. Padahal mereka itu punya peran penting untuk menekan gate keeper, menekan biaya klaim pelayanan BPJS Kesehatan," ungkap Kunto.
Ketiga, memperbaiki kelas rumah sakit yang belum sesuai bagi Kementerian Kesehatan dan pemerintah daerah untuk segera melacak dan meningkatkan kelas RS yang belum sesuai.
Serta terakhir, KPK mendorong adanya percepatan pembentukan Tim Penanganan Fraud amanah PMK 16/2019 dan percepatan Junkis PMK 51/2018 terkait penerapan urun dan selisih biaya penerapan Coordination of Benefit (COB) dengan asuransi komersial.