Bisnis.com, JAKARTA - Medio 2018, publik di Tanah Air dihebohkan dengan praktik transaksi pembayaran menggunakan dompet digital milik perusahaan asing. Bahkan, transaksi belanja itu tidak memakai denominasi rupiah, melainkan mata uang asing.
Adalah Alipay dan WeChat Pay. Dompet digital yang dipakai transaksi turis asal China saat melancong ke Bali. Warga negara asing itu menggunakan aplikasi berbasis kode QR saat transaksi di outlet-outlet belanja.
Apa pasal praktik itu menjadi kontroversi? Ada dua hal. Pertama, tidak menggunakan denominasi rupiah. Padahal ini wajib hukumnya di Bumi Pertiwi. Kedua, produk dompet digital tersebut belum kantongi izin beroperasi di Indonesia.
Satu lagi, meskipun ini tidak masuk kategori illegal, duit yang dibelanjakan tidak masuk ekosistem keuangan nasional. Akibatnya, dana yang harusnya menjadi devisa negara, langsung terbang lagi ke Negeri Panda.
Kendati pedagang lokal tetap diuntungkan dari transaksi itu, berdasarkan pencatatan neraca pembayaran, duit tersebut lewat saja.
Kejadian itu tidak hanya terjadi di Pulau Dewata. Di Kota Manado, toko-toko lokal pun melakukan transaksi dengan Alipay dan WeChat Pay saat turis asal China berbelanja.
Peristiwa itu menjadi sorotan publik. Kemudian, Bank Indonesia, selaku regulator sistem pembayaran, bergerak cepat melarang praktik transaksi tersebut. Hingga kedua dompet digital itu mendapatkan izin resmi.
Perusahaan teknologi finansial milik konglomerat Jack Ma, Alipay, dan Ma Huateng, WeChat Pay—melalui Tencent Group, sampai empat kali dipanggil bank sentral. Mereka pun akhirnya akan mengikuti aturan di Indonesia.
Aturan yang akan diikuti, seperti standar QR Code nasional. Kebetulan waktu itu, standardisasi kode QR lagi disusun.
Meskipun terlambat, standardisasi tersebut akhirnya mulai berlaku pada 17 Agustus 2019 dengan nama Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS).
Beleid yang harus diikuti berikutnya adalah menggandeng bank umum kelompok usaha (BUKU) IV.
Bank bermodal di atas Rp30 triliun ini dianggap mumpuni untuk menjadi mitra raksasa teknologi finansial dunia.
Semula, bank pelat merah merapat ke Alipay dan WeChat Pay. Begitu juga dengan bank swasta, seperti PT Bank Central Asia Tbk. dan PT Bank CIMB Niaga Tbk. Namun, bank-bank BUMN kemudian menarik diri, karena penawaran kerja sama dinilai tidak menguntungkan.
Alasannya, alat transaksi menggunakan EDC bank, sedangkan perusahaan teknologi finansial (tekfin) bermodal teknologi semata. Keuntungan komisi lebih banyak direnggut perusahaan tekfin. Sisanya baru diberikan kepada bank.
Akhirnya, bank pelat merah menarik diri dari kongsi itu. Di bawah komando Rini Soemarno, Menteri BUMN kala itu, secara urunan membentuk dompet digital. Pada 21 Januari 2012, LinkAja, metamorfosis dari produk T-Cash milik Telkomsel, diresmikan dan dijadikan ‘alat perang’ bersama melawan raksasa dompet digital.
Empat bank pelat merah terlibat dalam usaha patungan itu. Ditambah dengan BUMN lain, sedikitnya ada enam pelat merah ikut bergabung. Belakangan Grab Indonesia turut membenamkan investasi di LinkAja sebesar Rp1,4 triliun.
Namun, gaung perlawanan dari LinkAja meredup. Beberapa bank pelat merah melirik kembali kongsi dengan dompet digital lain. Salah satunya PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. yang mendapat restu dari otoritas bersinergi dengan Alipay pada pengujung tahun lalu.
Lanskap industri dompet digital di Tanah Air cukup dinamis. Apalagi bank sentral baru saja melonggarkan aturan terkait dengan kepemilikan asing di perusahaan tekfin. Pemodal asing status korporasi nonbank bisa menggenggam perusahaan tekfin di Indonesia hingga 85 persen.
Padahal, sebelumnya penyedia jasa pembayaran (PIP) dibatasi maksimal 49 persen. Bahkan, gagasan era Gubernur BI Agus DW Martowardojo asing hanya diberikan bagian maksimal 20 persen. Kondisi sekarang tentu berbalik arah.
Bedanya, aturan yang berlaku mulai 1 Juli 2021 tersebut, memberikan saham dwiwarna kepada investor lokal. Misalnya, meskipun pemodal lokal, seperti Nadiem Makarim pendiri Gojek Indonesia, sahamnya terdilusi hingga minoritas, karena masuknya investor, tetap memiliki hak suara mayoritas.
Baca Juga : Akankah Gojek Susul Wechat dan Alipay? |
---|
Investor lokal, warga negara dan badan hukum Indonesia, mempunyai hak suara khusus, minimal 51 persen, untuk mencalonkan dewan direksi dan komisaris. Bahkan, pihak domestik bisa memiliki hak veto apabila ada deadlock keputusan yang maha penting.
Berbeda dengan perusahaan penyelenggara infrastruktur sistem pembayaran (PIP). Perusahaan switching semacam pemilik brand ATM Bersama, Prima, ATM Link dan lainnya, asing maksimal dibatasi 20 persen.
Otomatis hak suara, penentuan direksi, komisaris, dan keputusan penting di perusahaan PIP ada di tangan pihak domestik.
Peta persaingan bisnis di PJP dan PIP memang berbeda. PIP rata-rata dikuasai oleh perusahaan lokal. Sebaliknya PJP banyak swasta asing mendominasi. Namun, berdasarkan aturan, tidak boleh ada kepemilikan ganda pada dua jenis perusahaan tersebut.
Bagi perusahaan yang tidak sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia No. 22/23/PBI/2020 tentang Sistem Pembayaran, diberikan keleluasaan hingga 2 tahun untuk menyelaraskan.
Dengan aturan ini, Jack Ma Cs bisa melenggang menjadi pemegang saham mayoritas di perusahaan tekfin di Indonesia. Akan tetapi, karena mengacu pada aturan sebelumnya, maksimal kepemilikan 49 persen, perusahaan raksasa teknologi dunia telah bergerilya dengan membeli bank.
Dengan memiliki bank, korporasi raksasa teknologi global, bisa bebas memiliki perusahaan teknologi finansial. Bahkan, mereka akan mengubah bank menjadi digital.
Jack Ma telah melakukan langkah ini. Melalui Ant Financial, sayap bisnis Alibaba Group, Jack Ma membenamkan investasi ke PT Akulaku Silvrr Indonesia. Akulaku menyuntikan dana ke PT Bank Yudha Bhakti Tbk.
Bank berkode saham BBYB itu telah dirombak menjadi bank digital dengan nama baru PT Bank Neo Commerce. Secara tidak langsung Jack Ma memiliki 24,98 persen saham. Porsi ini bakal meningkat karena tengah proses penerbitan saham baru (rights issue).
Selain Jack Ma, Sea Group, milik miliarder Singapura kelahiran China, Forrest Li, telah membeli saham PT Bank Kesejahteraan Ekonomi. Pemilik Shopee itu berkongsi dengan orang terkaya Indonesia, Martua Sitorus, untuk membeli bank yang didirikan oleh ayah Prabowo Subianto, Sumitro Djojohadikusumo.
Tidak hanya di situ. Forrest Li dan Martua bermitra dalam membuat perusahaan dompet digital, yakni Shopee Pay.
Kehadiran raksasa teknologi dunia ini akan meramaikan peta persaingan bisnis dompet digital. Meskipun selama ini mereka telah melakukan investasi pendanaan pada perusahaan tekfin nasional, seperti Gopay, DANA, OVO, dan lainnya.
Bahkan, apabila regulasi bank digital yang digodok Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah dirilis, bakal menyemarakkan teknologi Application Programming Interface. Isi saldo dompet digital tidak lagi manual melewati bank. Rekening bank digital sudah tersedia di dompet digital.
Yang perlu menjadikan perhatian adalah praktik monopoli apabila perusahaan teknologi melakukan konsolidasi. Apalagi sinyal konsolidasi sudah digaungkan antara Gojek dengan Tokopedia. Begitu juga isu OVO akan ikut bergabung dengan Gopay.
Konsolidasi ini akan memusatkan ‘kekuasaan’ sistem pembayaran pada satu konglomerasi. Belum ada penggabungan saja, lima besar perusahaan tekfin mendominasi transaksi pembayaran dari 10 perusahaan.
Ada hal menarik yang patut jadi pelajaran atas kebijakan Presiden China Xi Jinping. Mereka menahan izin penawaran saham perdana Ant Financial milik Jack Ma.
Pemerintahan China khawatir dominasi Ant Group di sektor keuangan mendistorsi pasar. Meskipun isu itu dibungkus dengan sentimen politik atas kritik Jack Ma kepada pemerintahan Xi Jinping.
Setidaknya pihak otoritas di Thamrin—kantor BI—memetik pengalaman dari evolusi Jack Ma di China sehingga sektor keuangan yang semakin digital ini tidak masuk pada lubang yang sama di kemudian hari.