Bisnis.com, JAKARTA — Sepanjang dua tahun terakhir, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Ketenagakerjaan mencatatkan selisih defisit pada dua program utamanya yakni Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP).
Defisit itu terjadi sejak 2019 dan nilainya semakin meningkat pada 2020. Padahal selama beberapa tahun sebelumnya, berdasarkan laporan keuangan BPJS Ketenagakerjaan audited, nilai aset program JHT dan JP selalu berada di atas liabilitasnya. Misalnya, pada 2016 aset JHT lebih besar Rp3,19 triliun dari liabilitasnya dan aset JP lebih besar Rp40 miliar. Kondisi itu terus terjadi sampai 2018.
Namun pada 2019, nilai liabilitas kedua program tersebut terus meningkat hingga melebihi jumlah asetnya. Total aset JHT sebesar Rp318,3 triliun sedangkan liabilitasnya Rp328,6 triliun, terdapat selisih Rp10,3 triliun. Adapun, program JP mengalami defisit yang lebih besar dengan liabilitas yang membengkak hingga Rp126,8 triliun sedangkan total aset Rp60,14 triliun, atau selisih Rp66,6 triliun. Padahal, setahun sebelumnya, liabilitas program JP hanya Rp40,34 triliun dengan aset senilai Rp40,4 triliun.
Pada 2020, defisit JHT semakin meningkat seperti yang tercantum dalam dokumen terkait kebijakan dan penanganan defisit program JHT yang diperoleh Bisnis. Berdasarkan laporan valuasi aktuaris, laporan keuangan audited, rekapituliasi rasio kecukupan dana (RKD), dan laporan keuangan JHT per 30 September 2020, tercatat bahwa JHT mengalami defisit Rp22,76 triliun atau RKD di posisi 89,55%.
"Posisi solvabilitas 31 Desember 2020 sudah membaik di level 95,92% dengan defisit sebesar Rp14,75 triliun," tertulis dalam dokumen yang diperoleh Bisnis.
Deputi Direktur Bidang Humas dan Antar Lembaga BPJS Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek Irvansyah Utoh Banja menilai bahwa selisih aset dan liabilitas program JHT merupakan dampak dari volatilitas pasar modal. Hal tersebut terjadi karena sejumlah dana JHT diinvestasikan di instrumen saham dan reksadana.
Baca Juga
"Dalam portofolio aset JHT terdapat dana yang diinvestasikan pada instrumen investasi yang terpengaruh atau terpapar kondisi pasar, seperti saham dan reksadana, instrumen tersebut dapat menyebabkan kenaikan dan penurunan aset tergantung dengan kondisi pasar," ujar Utoh kepada Bisnis, Rabu (10/2/2021).
Dia pun menyatakan bahwa penurunan nilai aset bersifat fluktuatif. Hal tersebut membuat dana JHT memiliki potensi untuk meningkat kembali saat kondisi pasar membaik.
Di sisi lain, menurut Utoh, terdapat ketentuan bahwa hasil pengembangan JHT yang diberikan paling sedikit harus setara dengan rata-rata counter rate bank pemerintah. Kewajiban itu membuat posisi liabilitas dapat meningkat di saat aset mengalami penurunan.
"Sehingga selisih antara aset dan liabilitas mungkin terjadi, terutama ketika kondisi pasar keuangan sedang dalam posisi unfavorable," ujarnya.
Utoh pun menyoroti penarikan JHT oleh peserta, yakni jika tidak dilakukan secara massal maka asetnya diharapkan dapat pulih dan memenuhi kewajibannya. BPJS Ketenagakerjaan pun berupaya memperbaiki kondisi solvabilitas JHT dengan strategi dari sisi aset investasi.
Sementara itu, isu solvabilitas program JP dinilai sebagai imbas dari skema pendanaan sebagian (partially funded) dalam skema manfaat pasti. Skema itu membuat besaran iuran yang ditetapkan di awal lebih rendah dari besaran sebenarnya untuk memenuhi kebutuhan pendanaan jangka panjang.
Akibatnya, seiring berjalannya waktu, pemupukan aset dari akumulasi iuran dan hasil investasi tidak dapat mengimbangi pertumbuhan kewajiban program JP. Menurut Utoh, perlu penyesuaian besaran program JP untuk menyelesaikan isu solvabilitas itu.
"Profil proyeksi liabilitas JP mempunyai laju kenaikan yang lebih tinggi daripada laju kenaikan aset, maka apabila tidak ada kenaikan iuran, selisih antara aset terhadap liabilitas JP akan semakin besar seiring dengan semakin mature program JP diselenggarakan," ujar Utoh.
Penyesuaian iuran program JP diatur dalam Pasal 28 Ayat (4)Peraturan Pemerintah (PP) 45/2015. Aturan itu menyatakan bahwa besaran iuran dievaluasi paling singkat tiga tahun dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi nasional dan perhitungan kecukupan kewajiban aktuaria.
Menurut Utoh, selisih antara total aset dan liabilitas pada umumnya terjadi di program pensiun dengan skema pendanaan sebagian. Adanya kenaikan kewajiban dari waktu ke waktu terjadi karena bertambahnya masa iur atau masa kerja yang diperhitungkan dan meningkatnya upah yang menjadi dasar perhitungan manfaat.
Sementara itu, faktor yang memengaruhi pertumbuhan aset di antaranya adalah bertambahnya akumulasi iuran dan hasil pengembangan. Hal itu turut dipengaruhi oleh kinerja investasi dana jaminan sosial.
"Mengingat program Jaminan Pensiun didesain sebagai program partially funded di mana besaran iuran yang ditetapkan masih lebih rendah dari besaran iuran yang dibutuhkan, serta kondisi pasar keuangan yang berfluktuatif, dapat menyebabkan pertumbuhan aset akan lebih rendah dibandingkan pertumbuhan kewajiban," ujar Utoh.