Bisnis.com, JAKARTA - Mari kita bertanya pada diri kita sendiri, sebagai underwriter apakah kita yakin dengan harga pertanggungan yang kita kenakan? Tepat menggambarkan tingkat risiko yang dibawa dan cukup untuk menutup biaya dengan sedikit keuntungan?
Atau, apakah sebagai underwriter kita yakin ada hubungan nyata antara term and conditions yang kita terapkan dengan usaha mengendalikan kemungkinan loss yang akan terjadi? Dalam hal ini mengendalikan frequency dan severity dari loss tersebut? Jawabannya ada di dalam hati kita masing–masing.
Apabila jawabnya yakin maka akan sangat melegakan. Bagaimana bila tidak begitu yakin? Kalau underwriter saja ragu, bagaimana dengan unsur–unsur lain dalam siklus terbitnya polis?
Alhasil, semua diskusi berikutnya akan berujung tidak jelas karena tidak memiliki dasar.
Dua alinea ini saja sudah cukup untuk menjelaskan asal muasal kesimpangsiuran diskusi yang banyak berlangsung di industri asuransi (asuransi umum khususnya) hari ini. Underwriter tidak yakin atau mungkin memang tidak perlu terlalu yakin, karena mekanik terbitnya polis yang terjadi hari ini tidak mendorong ke arah tersebut.
Polis diterbitkan atas keyakinan bahwa keuntungan dapat diperoleh tidak melulu akibat premi yang lebih lebih besar dari klaim tetapi dapat juga diperoleh dari selisih biaya yang timbul dari transaksi reasuransi.
Belum lagi kalau kita melihat besarnya Underlying Retention (UR) yang kerap tidak mendorong underwriter berpikir keras. Benar beberapa ceding companies sudah memiliki UR yang cukup untuk membuat jantung underwriter-nya berdebar kencang.
Tidak ada keyakinan 100% untuk hal–hal di atas. Namun bukan berarti kita dipaksa menerima bahwa aktivitas underwriting adalah formalitas semata dalam proses terbitnya polis.
Industri asuransi Indonesia sudah tidak muda lagi, telah berumur lebih dari 100 tahun. Namun tampaknya cenderung berkembang menjadi pasar (market) ketimbang menjadi sebuah industri.
Pasar akan selalu bergerak mengikuti supply dan demand sedangkan sebuah industri, selain digerakkan oleh kekuatan pasar juga memiliki kewaspadaan tentang kesehatan dan kelangsungan jangka panjang.
Dengan usia setua itu seharusnya industri asuransi Indonesia sudah memiliki cumulative wisdom menjaga keseimbangan kedua hal di atas.
Di sisi lain, komoditisasi asuransi tidak terhindarkan tetapi seharusnya tidak membuat tingkat keuntungan underwriting plus biaya di sektor asuransi umum dalam 5 tahun terakhir lebih kecil dari 5 % seperti yang ditunjukkan oleh data AAUI.
Komoditisasi bukan berarti mengabaikan potensi keuntungan. Komoditisasi adalah cara baru mengemas transaksi. Program reasuransi proporsional (non reporting) adalah bentuk nyata proteksi yang bersifat komoditisasi.
Namun kalau kita lihat data Indonesia Profesional Reinsurer (IPR), tidak ada pola keuntungan yang konsisten dari treaty proporsional ini. Keuntungan terjadi secara sporadis saja dari tahun ke tahun.
Underwriter harus diperkuat. Pasar asuransi yang sehat selalu ditandai dengan keberadaan Lead Underwriter yang kapabilitas dan kapasitasnya diakui. Apakah lead underwriter selalu berarti underwriter senior?
Umumnya lead underwriter telah memiliki jam terbang yang tinggi tetapi tidak harus berarti senior dalam hal usia. Setiap perusahaan asuransi pasti ingin memiliki underwriter yang sakti. Terlalu jauh juga rasanya mengharapkan pasar asuransi umum Indonesia segera memiliki lead underwriter seperti di atas. Membagi risiko dengan 10—15 perusahaan lain sudah telanjur menjadi kebiasaan.
Namun penguatan harus dimulai hari ini. Ada banyak cara untuk mengasah kemampuan underwriter. Yang paling kuat dan efektif adalah dengan memberi kesempatan kepada mereka untuk menguji keputusan akseptasinya. Underwriter harus terlibat di dalam proses penyelesaian klaim. Dengan terlibat maka dapat melihat bagaimana term dan conditions bekerja.
Keberadaan komunitas underwriting yang hidup di tengah–tengah industri juga akan berperan besar untuk ‘menyadarkan’ underwriter akan peran kritisnya di dalam keseluruhan proses operasional perusahaan.
Komunitas dalam perjalanannya juga mendorong individu ‘anggotanya’ untuk mengadopsi nilai dan budaya tertentu. Malu dan reluctance apabila melakukan sesuatu yang dirasa tidak sesuai dengan nilai kelompok.
Mengapa tidak terlebih dulu dimulai oleh underwriter reasuransi? Underwriter IPR lebih tepatnya. Walau terasa ada benarnya, kita tidak boleh terlena dan menggunakan usulan di atas untuk menunggu.
Kalau dilihat lebih dalam, UR sebagian besar IPR mirip–mirip juga dengan perusahaan asuransi menengah dan besar Indonesia. Underwriter IPR berada dalam dilema yang sama dengan koleganya di Ceding Companies, sehingga jalan yang paling masuk akal adalah melakukannya bersama–sama.
Apakah unsur lain dalam industri kurang penting? Tetap sama pentingnya. Broker contohnya, adalah komponen dominan di pasar asuransi umum. Broker tak lain adalah ‘underwriter‘ yang bekerja untuk kepentingan tertanggung. Karenanya, semua yang didiskusikan di atas sampai pada tingkatan tertentu berlaku sama untuk broker.
Keputusan pertama dalam membentuk common pool ada di tangan underwriter. Underwriter adalah pengelola risiko, bukan sekedar administrator risiko.