Bisnis.com, JAKARTA — Dewan Jaminan Sosial Nasional atau DJSN telah melakukan monitoring dan evaluasi atau monev terhadap Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan atas operasionalnya sepanjang 2020. Terdapat tujuh temuan dari penyelenggara jaminan sosial itu.
Ketua Komisi Pengawasan, Monitoring, dan Evaluasi DJSN Tono Rustiano menjelaskan bahwa berdasarkan Undang-Undang (UU) 4/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), pihaknya memiliki wewenang untuk melakukan monev penyelenggaraan jaminan sosial.
Menurut Tono, DJSN telah melakukan monev terhadap BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan terkait pelaksanaan jaminan sosial sepanjang 2020. Hasil temuan itu akan dilaporkan kepada Presiden Joko Widodo, mengingat DJSN bertanggung jawab kepada presiden atas pengawasan pelaksanaan jaminan sosial.
DJSN menggunakan mekanisme monev online di dua provinsi setiap bulannya, dengan pendalaman ke lapangan jika dibutuhkan. Tono menjabarkan bahwa berdasarkan monev Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), DJSN mencatatkan tujuh temuan utama, yakni:
Pertama, hampir semua kabupaten/kota memiliki perwakilan BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan telah meningkatkan transparansi data walaupun masih adanya perbedaan pendefinisian prinsip keterbukaan antara BPJS Kesehatan dan pemangku kepentingan.
Kedua, BPJS Kesehatan menghadapi penurunan jumlah peserta aktif dibandingkan 2019 dan penambahan iuran anggota keluarga lain peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) masih belum ada perkembangan dari tahun sebelumnya.
Baca Juga
"Serta kondisi pandemi Covid-19 menjadikan makin sulitnya peserta menambahkan iurannya," ujar Tono pada Rabu (5/5/2021) saat menyampaikan hasil monev DJSN.
Ketiga, aplikasi elektronik badan usaha (e-Dabu) masih mengalami kendala teknis dan memerlukan perbaikan dan pengembangan. Kenaikan iuran dan restrukturisasi anggaran Pemda mengakibatkan jumlah kepesertaan Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) Kelas III mengalami penurunan di beberapa daerah. Penyelenggaraan JKN mengalami penurunan akses karena situasi pandemi Covid-19.
Keempat, jumlah kasus dan biaya pelayanan rawat jalan di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) secara umum mengalami penurunan, kecuali pelayanan prosedur dialisis.
Kelima, pelayanan digital dalam masa Covid-19 ini menjadi kebutuhan penting bagi pelayanan antrian maupun pengembangan layanan kesehatan digital yang sedang dikembangkan oleh BPJS Kesehatan.
Keenam, jumlah kasus dan biaya pelayanan rawat inap di FKRTL mengalami penurunan signifikan, kecuali kasus-kasus persalinan, baik melalui vaginal maupun pembedahan.
"Aset netto Dana Jaminan Sosial [DJS] Kesehatan masih tercatat minus Rp5,68 triliun sehingga situasi keuangan aset DJS Kesehatan belum dapat dianggap ‘sehat’," ujarnya.
Ketujuh, rasio likuiditas DJS Kesehatan mengalami perbaikan, namun, rasio ini masih berada di bawah standar aman, yakni 120 persen terhadap aset jangka pendek. Perlu kewaspadaan di masa depan jika akses peserta JKN ke layanan kesehatan mengalami rebound.