Bisnis.com, JAKARTA - Industri teknologi finansial peer-to-peer (fintech P2P) lending masih memiliki pekerjaan rumah untuk terus memberikan peningkatan literasi terkait lembaga jasa keuangan berbasis digital.
Kepala Bidang Edukasi, Literasi dan Riset Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Entjik S. Djafar menjelaskan bahwa hal inilah yang membuat beberapa penyelenggara masih mengandalkan pendana institusi (super lender) ketimbang lender retail.
Kondisi ini salah satunya disampaikan oleh PT Layanan Keuangan Berbagi atau DanaRupiah di mana kontribusi lender retail baru di kisaran 10 persen dari penyaluran pinjaman.
"Sebenarnya tidak susah mencari lender retail, karena imbal hasil menjadi pendana di P2P itu cukup besar, bisa sampai 14-16 persen. Tapi, pengguna sudah siap belum dengan risikonya? Itu perlu kita konfirmasi dan persiapkan betul. AFPI akan terus mendorong literasi dan edukasi," jelasnya dalam acara perayaan 1 tahun DanaRupiah memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Jakarta, Kamis (27/5/2021).
Pria yang menjabat sebagai Presiden Direktur DanaRupiah ini mengungkapkan bahwa kesiapan platform penting untuk mengatasi potensi-potensi gugatan lender apabila terjadi kesalahan teknis atau ketika terdapat gagal bayar dari peminjam (borrower).
DanaRupiah sendiri baru tahun ini ingin berupaya memperbesar pangsa kontribusi lender retail hingga mencapai 20 persen dari akumulasi penyaluran pinjaman, yang pada periode 2021 ditargetkan bertambah Rp2,5 triliun. Caranya, dengan memperbesar akses ke pinjaman-pinjaman dengan risiko terukur.
Baca Juga
Sementara itu, Direktur Eksekutif AFPI Kuseryansyah mengapresiasi para platform yang berniat melakukan diversifikasi sumber pendanaan lewat lender retail, dan bukan hanya mengandalkan super lender. Namun, Kus mengingatkan bahwa sebenarnya platform harus memiliki kepekaan untuk tetap mendorong literasi bagi kedua pihak, baik lender maupun borrower secara bersamaan.
"Karena industri ini punya tugas minimal harus membantu awareness terkait digitalisasi dan fintech untuk 186 juta usia produktif di Indonesia. Bayangkan saja, inklusi keuangan kita sudah 76 persen tapi literasi keuangan baru 38 persen. Dari yang sudah punya literasi pun mungkin masih banyak yang baru mengerti soal tabungan atau lembaga jasa keuangan konvensional, belum tentu langsung paham soal fintech," jelasnya.
Pasalnya, hal ini menilik masih banyak masyarakat yang belum punya kesadaran dalam memanfaatkan kredit atau pinjaman via online, salah persepsi atau belum paham risiko soal layanan keuangan digital, serta masih kesulitan dalam membedakan platform legal dan platform ilegal.
"Padahal gap kebutuhan kredit di Indonesia ini Rp1.650 triliun atau dari kebutuhan sebesar Rp2.650 triliun, baru terisi sekitar Rp1.000 triliun. Industri P2P harapannya tahun ini bisa mengisi Rp100 triliun. Jadi sebenarnya di Indonesia itu banyak sekali pangsa pasar orang yang mau meminjam dana. Terpenting, masyarakatnya perlu terus kita tingkatkan literasinya," tutupnya.