Bisnis.com, JAKARTA - Kartu kredit merupakan alat pembayaran menggunakan kartu (APMK), bersama kartu automated teller machine (ATM) dan kartu debit. Ketiga jenis APMK ini berperan penting menopang kegiatan ekonomi dan keuangan digital.
Mengutip data Bank Indonesia (BI), nilai transaksi pembayaran menggunakan kartu kredit, kartu ATM dan kartu debit pada April 2021 mencapai Rp679,6 triliun, tumbuh 33,13 persen secara tahunan. Capaian positif ini sejalan dengan peningkatan aktivitas ekonomi dan kebutuhan masyarakat selama Ramadan dan menjelang Idulfitri 1442 H.
Berbeda dengan kartu ATM dan kartu debit, kartu kredit memiliki fungsi lain yakni sebagai instrumen utang. Data BI menunjukkan baki debit utang kartu kredit pada April 2021 mencapai Rp75,56 triliun, tumbuh 4,30 persen secara tahunan. Kualitas penyaluran kredit melalui kartu kredit ini masih terjaga baik, ditandai rasio utang kartu kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) yang hanya 3,02 persen, turun dari April 2020, 3,09 persen.
Sebagai instrumen utang, kartu kredit dapat digunakan untuk mendorong konsumsi rumah tangga, sehingga menggerakkan roda ekonomi nasional. Apalagi, postur pertumbuhan ekonomi Indonesia atau produk domestik bruto (PDB) sebagian besar disumbang sektor konsumsi. Lebih dari 50 persen kontribusi PDB berasal dari konsumsi. Oleh karena itu, ketika konsumsi turun seperti saat pandemi, PDB ikut turun. Begitu juga sebaliknya.
Penggunaan instrumen kartu kredit untuk mendorong laju ekonomi pernah dilakukan Negara Ginseng, Korea Selatan, pada awal 2000-an. Setelah terpapar krisis ekonomi pada 1997/1998, Korea Selatan menggenjot konsumsi penduduknya melalui kartu kredit. Otoritas keuangan negara itu memberikan banyak stimulus pada bisnis kartu kredit, sehingga volume dan frekuensi transaksi kartu kredit meningkat pesat.
Bahkan, puncaknya outstanding utang kartu kredit baik di bank komersial maupun perusahaan penerbit kartu kredit sempat mencapai 20 persen dari total kredit perbankan. Meskipun, pada ujungnya penyaluran utang kartu kredit tidak terkendali dan mengabaikan prinsip kehati-hatian sehingga NPL kartu kredit terbang tinggi dan memicu instabilitas sistem keuangan Korea Selatan. Otoritas keuangan akhirnya menyelamatkan perusahaan penerbit kartu kredit.
Baca Juga
Peranan kredit konsumsi rumah tangga di tengah pandemi juga penting karena mampu mengurangi kontraksi laju penyaluran kredit secara agregat. Berkaca pada data BI, kredit konsumsi pada April 2021 tumbuh positif secara tahunan sebesar 0,3 persen, lebih baik dibandingkan kredit modal kerja dan investasi yang masih terkontraksi masing-masing 3,8 persen dan 2,9 persen secara tahunan.
Berangkat dari kondisi ini juga yang mendorong BI memangkas batas atas suku bunga kartu kredit dari 2 persen menjadi 1,75 persen, selain ditujukan terutama untuk mendukung transmisi kebijakan suku bunga dan efisiensi transaksi nontunai. Keputusan ini diambil BI pada RDG 24-25 Mei 2021 dan berlaku sejak 1 Juli 2021.
Sebenarnya, bukan sekali ini saja BI menurunkan batas atas suku bunga kartu kredit di tengah pandemi. Pada tahun sebelumnya, tepatnya 1 Mei 2020, BI telah memotong batas atas suku bunga kartu kredit dari 2,25 persen menjadi 2 persen. Pemotongan ini berguna untuk mengurangi beban masyarakat di tengah pandemi dan mendorong tingkat konsumsi.
Sementara itu, bagi perbankan, suku bunga yang rendah akan mendorong peningkatan transaksi kartu kredit oleh nasabah yang ada dan tentunya memikat nasabah baru. Dengan begitu, pendapatan bunga kartu kredit yang didapat bank akan meningkat.
Kebijakan BI itu juga tidak serta-merta akan menaikkan rasio kredit bermasalah, seperti yang dialami Korea Selatan pada 2000-an. Sebab, sebagaimana dengan relaksasi kebijakan Loan To Value (LTV) kredit properti, BI telah memagarinya dengan penerapan manajemen risiko yang kuat agar penyaluran kredit lewat kartu kredit tetap hati-hati dan tidak serampangan, sehingga kualitas penyalurannya terjaga baik dan pada akhirnya stabilitas sistem keuangan tetap aman.
Beberapa ketentuan kehati-hatian itu dalam bentuk sebagai berikut. Pertama, batas minimum pendapatan pemegang kartu kredit adalah Rp3 juta tiap bulan. Kedua, batas maksimum plafon kredit secara kumulatif kepada satu pemegang kartu kredit adalah sebesar tiga kali pendapatan tiap bulan, kecuali bagi yang memiliki penghasilan di atas Rp10 juta tiap bulan.
Ketiga, batas maksimum jumlah penerbit kartu kredit yang dapat memberikan fasilitas kartu kredit untuk satu pemegang kartu kredit adalah dua penerbit kartu kredit, kecuali bagi yang memiliki penghasilan di atas Rp10 juta tiap bulan. Keempat, persentase minimum pembayaran minimum 10 persen dari total tagihan (saat ini direlaksasi menjadi 5 persen).
Perlu juga diketahui bahwa pemangkasan batas atas suku bunga kartu kredit itu sejatinya merupakan bagian dari paket kebijakan BI yang saling berpadu dalam bentuk bauran kebijakan, menopang percepatan pemulihan ekonomi nasional di tengah pandemi Covid-19, bersama dengan kebijakan pemerintah, OJK dan LPS. Begitu penanganan pandemi berhasil dan mobilitas masyarakat kembali normal, maka laju pertumbuhan ekonomi akan melonjak tinggi.