Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah dinilai perlu meninjau cakupan pemberian manfaat program jaminan kehilangan pekerjaan atau JKP bagi pekerja kontrak. Mereka yang membayar iuran perlu mendapatkan manfaat jaminan sosial, terlebih dalam kondisi ekonomi di tengah pandemi Covid-19.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menjelaskan bahwa program tersebut sudah berjalan seiring terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) 37/2021 tentang Penyelenggaraan Program JKP. Selain itu, akan terdapat aturan turunan dalam bentuk Peraturan Menteri Ketenagakerjaan.
Menurut Timboel, jika mengacu ke PP 37/2021, program JKP baru memberikan perlindungan bagi satu dari tiga segmen peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, yakni pekerja penerima upah (PPU).
Segmen lainnya, yakni pekerja bukan penerima upah (PBPU), pekerja migran Indonesia (PMI), dan pekerja jasa konstruksi dinilai tidak bisa memperoleh manfaat JKP. Menurut Timboel, hal tersebut terjadi karena syarat menerima JKP adalah pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Peserta mandiri atau PBPU agak susah menentukan dia kehilangan pekerjaan. PMI dia kalau dipulangkan itu sebenarnya PHK, lalu, jasa konstruksi itu memang dari awal jelas kapan dia akan berakhir pekerjaannya tapi setelah itu dia kan kehilangan pekerjaan, dan mereka selama bekerja membayar iuran," ujar Timboel kepada Bisnis, Selasa (22/6/2021).
Timboel menilai bahwa kondisi itu rentan menyebabkan karyawan kontrak atau pekerja-pekerja di ketiga segmen tadi tidak bisa memperoleh manfaat JKP. Padahal, mereka termasuk pekerja yang harus dibantu saat kehilangan pekerjaan.
Baca Juga
Terlebih, jika para pekerja itu aktif membayar iuran, Timboel menilai semestinya mereka berhak mendapatkan manfaat jaminan sosial. Jika tidak, hal itu dinilai melanggar Undang-Undang (UU) 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yakni peserta berhak mendapatkan manfaat dan informasi atas program yang diikutinya.
"Orang diposisikan disuruh membayar iuran tapi ketika jatuh waktunya, tidak mendapatkan manfaat. Ini persoalan ada inkonsistensi UU SJSN, UU Cipta Kerja, dengan PP 37," ujar Timboel.
Dia menilai bahwa berlakunya UU Cipta Kerja berpotensi menyebabkan membludaknya karyawan kontrak dan pekerja dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Selain itu, sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak perusahaan yang mempekerjakan karyawannya dengan status PKWT bertahun-tahun, tak kunjung dijadikan karyawan tetap.
Menurut Timboel, selama karyawan tersebut aktif membayar iuran dan pekerja memenuhi kewajiban dalam mendaftarkan pekerjanya ke jaminan sosial, maka karyawan kontrak dan PKWT mestinya berhak mendapatkan manfaat program JKP. Hal ini harus didorong oleh pemerintah demi perlindungan para pekerja.
"Berlakunya UU Cipta Kerja akan menyebabkan semakin banyak outsourcing, PKWT, dan karyawan kontrak. Saat mereka kehilangan pekerjaan itu justru harus didukung dengan JKP, agar bisa kembali ke bursa kerja," ujar Timboel.
Praktik pemberi kerja yang menekan atau memaksa pekerjanya untuk mengundurkan diri, alih-alih melalui pemutusan hubungan kerja atau PHK, dinilai dapat membuat pekerja tidak bisa memperoleh manfaat. Hal tersebut menyalahi prinsip jaminan sosial.
Dia mengatakan, sudah menjadi sebuah rahasia umum banyak pemberi kerja yang menekan pekerjanya untuk mengundurkan diri. Penekanan biasa dilandasi persaingan antar pekerja, adanya masalah yang tidak terselesaikan, atau bahkan faktor ekonomi.
Menurutnya, tindakan itu kerap bertujuan agar pemberi kerja terhindar dari berbagai kewajiban. Langkah menekan pekerja untuk mengundurkan diri dinilai relatif mudah, murah, dan prosesnya cepat, dibandingkan dengan PHK yang dalam beberapa kasus harus sampai ke pengadilan hubungan industrial.
Kondisi yang banyak terjadi itu menurutnya berbahaya, salah satunya karena pekerja tidak bisa memperoleh manfaat JKP dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Hal tersebut terjadi karena salah satu syarat klaim manfaat JKP adalah PHK, bukan pengunduran diri.
"Enggak akan berlaku karena pekerjanya mengundurkan diri, bukan PHK. Selama ini, orang kalau mau di-PHK pasti dikondisikan mengundurkan diri, padahal pekerja kan dia peserta yang membayar iuran, tapi pas di-PHK tidak bisa mendapat manfaat [JKP]," tuturnya.
Dia melanjutkan, praktik itu melanggar ketentuan Undang-Undang (UU) 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yakni peserta adalah orang yang mendaftar dan membayar iuran, sehingga berhak mendapatkan manfaat dan informasi atas program yang diikutinya.
Para pekerja memenuhi kewajibannya dalam membayar iuran jaminan sosial selama masa kerja. Dalam aspek kepesertaan, pekerja itu sudah memenuhi ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) 37/2021 tentang Penyelenggaraan Program JKP.
Meskipun begitu, jika pada akhir masa kerja terjadi pengunduran diri, maka pekerja itu tidak dapat memperoleh manfaat JKP. Menurut Timboel hal tersebut perlu dicermati dengan serius oleh pemerintah, Kementerian Ketenagakerjaan, dan BPJS Ketenagakerjaan.
"Harus dihindari agar tidak terjadi kerugian ganda bagi pekerja, dia kehilangan pekerjaan dan tidak dapat JKP, padahal JKP esensinya untuk membantu pekerja yang kehilangan pekerjaan, apalagi di masa sekarang ini," ujarnya.
BPJS Watch menilai bahwa pengunduran diri pekerja biasanya didasari dua hal, yakni pindah tempat kerja atau berhenti bekerja untuk keperluan tertentu, seperti mengurus keluarga. Kedua alasan itu layak untuk menjadikan pekerja tidak memperoleh manfaat JKP.
Dalam kasus pekerja yang dipaksa mengundurkan diri, pekerja itu belum tentu sudah mendapatkan pekerjaan pengganti. Maka, menurut Timboel, JKP harus ada dalam kondisi sulit bagi peserta itu, terlebih jika dia sudah memenuhi semua kewajibannya.
Kondisi serupa pun berlaku bagi pekerja dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), pekerja konstruksi, dan pekerja migran Indonesia (PMI). Mereka aktif sebagai peserta, membayar iuran, tapi tidak dapat memperoleh manfaat JKP.