Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Hadapi Tapering The Fed, Strategi Suku Bunga Acuan BI Tak Cukup

Pemerintah dan BI harus berkoordinasi dalam mengenjot investasi dan mempertebal cadangan devisa.
Kantor Bank Indonesia di Jakarta/Reuters-Iqro Rinaldi
Kantor Bank Indonesia di Jakarta/Reuters-Iqro Rinaldi

Bisnis.com, JAKARTA - Bank Indonesia (BI) dan pemerintah dinilai perlu melakukan antisipasi awal untuk menahan dampak dari penarikan stimulus atau tapering off oleh the Fed, Bank Sentral Amerika Serikat yang diperkirakan terjadi pada awal 2022.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan tapering off oleh the Fed berpotensi menyebabkan keluarnya modal asing dari pasar keuangan domestik sehingga akan berpengaruh pada stabilitas nilai tukar rupiah.

Dengan demikian, pemerintah harus merespon dengan menaikkan imbal hasil surat berharga negara (SBN). Jika berkaca pada krisis 2013 lalu, Indonesia termasuk salah satu negara yang sensitif terhadap tapering off the Fed.

Menurut Bhima, untuk menghadapi tekanan dari tapering off, tidak cukup hanya mengandalkan suku bunga acuan BI atau BI-7 day reverse repo rate (BI7DRR) dan peningkatan imbal hasil SBN untuk menjaga nilai tukar rupiah.

Oleh karena itu, perlu ada antisipasi awal dari BI dan pemerintah. Pertama, mendorong masuknya modal asing yang lebih berkualitas. “Mumpung investor asing sekarang banyak dan masuk ke pasar berkembang, jadi harus menarik investasi yang berkualitas,” katanya kepada Bisnis, Senin (28/6/2021).

Kedua, cadangan devisa hasil ekspor perlu dipertebal untuk dikonversikan ke rupiah. Ketiga, perlu lebih mendorong kinerja ekspor sehingga cadangan devisa kuat menahan tekanan dari modal asing yang keluar saat terjadi tapering off.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyampaikan dalam menghadapi tapering off, BI perlu mengantisipasinya melalui kebijakan intervensi seperti suku bunga acuan, intervensi di pasar spot, tunai hingga di pasar SBN.

“Karena seperti yang kita tahu jika the Fed menjalankan kebijakannya tentu akan mendorong capital outflow, jika hal tersebut terjadi maka ada peluang nilai tukar akan bergerak lebih volatile dengan kecenderungan melemah. Maka beragam instrumen di atas menjadi penting untuk dipersiapkan,” jelasnya.

Di sisi lain, menurut Yusuf, diperlukan juga dukungan kebijakan nonmoneter dari pemerintah, yaitu menjaga neraca dagang berada pada level yang akomodatif. Jika neraca dagang kembali defisit, jangan sampai berdampak pada neraca transaksi berjalan.

“Neraca transaksi berjalan ini kemudian menjadi penting karena akan ikut mempengaruhi keputusan BI, misalnya dalam menurunkan suku bunga,” katanya.

Meski demikian, Yusuf memproyeksi dampak dari tapering off di masa pandemi tidak akan sebesar seperti periode tapering off pada 2013 karena proporsi kepemilikan asing di surat utang pemerintah saat ini jauh lebih kecil. Di samping itu, neraca transaksi berjalan kondisinya juga lebih baik dibandingkan 2013.

“Tetapi jangan dilupakan bahwa masih ada potensi faktor Covid-19 di tahun depan, yang bisa saja merubah proyeksi atau antisipasi yang sudah dipersiapkan oleh stakeholder terkait,” tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Maria Elena
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper