Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

APPI Harap PPKM Darurat Tak Bikin Restrukturisasi & NPF Leasing Melonjak Lagi

Sebelumnya, realisasi program restrukturisasi terbilang sukses untuk ikut menjaga kualitas piutang dari multifinance, ditopang komunikasi dan penjelasan yang baik terhadap para debitur.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia Suwandi Wiratno (dilayar) memberikan paparan saat acara Bisnis Indonesia Economic Outlook secara virtual di Jakarta, Selasa (6/7/2021). Bisnis/Abdurachman
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia Suwandi Wiratno (dilayar) memberikan paparan saat acara Bisnis Indonesia Economic Outlook secara virtual di Jakarta, Selasa (6/7/2021). Bisnis/Abdurachman

Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) berharap besar masa Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) tak lagi berdampak terhadap melonjaknya permintaan restrukturisasi dan naiknya tingkat non-performing financing (NPF).

Ketua Umum APPI Suwandi Wiratno mengakui fenomena ini memang menjadi salah satu dari 6 tantangan besar para pemain industri multifinance jelang semester II/2021, di samping terbatasnya mobilitas dalam hal penagihan, kontraksi pertumbuhan piutang, biaya-biaya beban yang meningkat, serta terbatasnya sumber pendanaan.

"Tapi kami yakin tidak sama seperti 2020, melihat kondisi beberapa hari ini, dan saya tanya di anggota kami pun average debitur yang sebelumnya mendapatkan restrukturisasi, sudah 60 sampai 70 persen yang membayar cicilan lagi," jelasnya dalam diskusi virtual Bisnis Indonesia Economic Outlook 2021: 'Prospek Ekonomi Indonesia Pasca-Stimulus & Vaksinasi', Selasa (6/7/2021).

Sekadar informasi, berdasarkan data hingga 28 Juni 2021, permohonan restrukturisasi yang diterima 167 multifinance yang ikut mensukseskan kebijakan ini mencapai 5,75 juta kontrak pembiayaan, dengan nilai outstanding pokok Rp180,92 triliun dan bunga Rp48,87 triliun.

Permohonan yang disetujui mencapai 5,13 juta kontrak dengan nilai pokok Rp164,42 triliun dan bunga Rp44,76 triliun. Adapun, yang ditolak sebanyak 352.897 kontrak dengan nilai pokok Rp8,91 triliun dan bunga Rp2,28 triliun. Sisanya, atau sebanyak 261.185 kontrak masih dalam proses.

Suwandi menjelaskan bahwa realisasi program ini terbilang sukses untuk ikut menjaga kualitas piutang dari multifinance, ditopang komunikasi dan penjelasan yang baik terhadap para debitur.

Restrukturisasi biasanya direkomendasikan kepada debitur yang masa cicilannya sudah lama, sementara debitur yang baru mulai tapi terdampak dan tidak kuat membayar cicilan, diarahkan untuk pengembalian unit secara baik-baik disertai kompensasi. Adapun, debitur yang ditolak, merupakan mereka yang tidak sesuai kriteria terdampak pandemi.

"Salah satu kasus sebagai contoh, ada debitur ASN yang masih dapat gaji, kemudian daripada kendaraannya nganggur, dipakai oleh suaminya sebagai driver online, dan kemudian minta restrukturisasi, tapi tentu tidak masuk kriteria terdampak pandemi. Terpenting, setiap orang kita jelaskan dengan baik. Tapi selain itu, ada juga debitur yang hanya coba-coba," tambahnya.

Selain berkaitan restrukturisasi, Suwandi juga mengingatkan potensi perusahaan pembiayaan mengalami peningkatan kredit macet, akibat terpengaruh kondisi debitur multifinance yang usahanya atau pekerjaannya terdampak PPKM.

Apalagi, di era new normal ini banyak debitur yang 'diam-diam saja' dan tidak mau berkomunikasi, tapi tiba-tiba hilang dan tak membayarkan cicilannya, bahkan sampai 'nakal' dan nekat melanggar perjanjian fidusia dengan menjual objek pembiayaan akibat terhimpit kondisi ekonomi.

"Oleh sebab itu, fokus kita di periode 2020 sampai 2021 ini masih menjaga collection untuk arus kas dan membayarkan kewajiban kita ke perbankan. Jadi kalau kita sampai melakukan tindakan, itu 80 sampai 90 persen ya, karena orangnya tidak tahu di mana dan barangnya sudah ada di pihak ketiga," tambahnya.

Adapun berdasarkan data hingga akhir kuartal I/2021, Suwandi menjelaskan kondisi NPF industri pembiayaan masih meningkat, namun sudah mulai pulih ketimbang periode Juli-Agustus 2020 di mana kredit bermasalah mencapai rekor hingga di atas 5 persen.

Secara terperinci, NPF Gross pada Maret 2020 dan Maret 2021 masing-masing mencapai 2,82 persen dan 3,74 persen, sementara dan NPF Netto dari 0,47 persen ke 1,27 persen.

Secara terperinci, kenaikan ini ditopang oleh kenaikan dari kolektibilitas kurang lancar; diragukan; dan macet, di mana masing-masing naik dari 0,61 persen ke 0,69 persen; 0,70 persen ke 0,80 persen; dan 1,51 persen ke 2,25 persen.

Adapun untuk kolektibilitas lancar, tercatat naik dari 86,62 persen pada Maret 2020 ke 87,21 persen pada Maret 2021, sementara portofolio yang masuk kategori kolektibilitas dalam perhatian khusus turun dari 10,56 persen ke 9,04 persen.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Aziz Rahardyan
Editor : Hafiyyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper