Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kredit Belum Kuat, Penempatan Dana Bank ke Surat Berharga Tembus Rp1.592 Triliun

Berdasarkan data OJK, penempatan dana bank umum pada surat berharga per Mei 2021 telah mencapai Rp1.592,12, naik 35,49 persen secara tahunan
Karyawan merapikan uang di cash center Bank BNI, Jakarta, Selasa (11/2/2020). Bisnis/Himawan L Nugraha
Karyawan merapikan uang di cash center Bank BNI, Jakarta, Selasa (11/2/2020). Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA - Penempatan dana bank ke surat berharga terus meningkat seiring dengan dana pihak masyarakat yang tumbuh signifikan dan pembiayaan yang belum optimal.

Berdasarkan data OJK, penempatan dana bank umum pada surat berharga per Mei 2021 telah mencapai Rp1.592,12, naik 35,49 persen secara tahunan. Penempatan dana di bank terpantau terus meningkat sejak pandemi dan sempat mencapai titik tertinggi pada April 2021 senilai Rp1.627,14 triliun.

Menyelisik lebih dalam, komposisi terbesar terdapat pada instrumen obligasi yang mencapai Rp1.332,08 triliun, sedangkan sisanya berasal dari sertifikat Bank Indonesia, surat perbendaharaan negara, dan instrumen surat berharga lainnya.

Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menjelaskan pandemi Covid-19 yang direspons dengan kebijakan pembatasan sosial berdampak pada pelemahan aktivitas ekonomi. Dampak lanjutannya adalah permintaan masyarakat (rumah tangga) yang selama ini menjadi tulang punggung PDB nasional tertekan.

Lebih lanjut, pelaku usaha mengurangi aktivitas usahanya atau bahkan menutup usahanya sehingga menurunkan permintaan kredit. Bahkan fasilitas kredit yang sudah diterima, secepatnya dilunasi untuk menyehatkan keuangan mereka.

Di saat permintaan kredit melemah, dana pihak ketiga (DPK) perbankan meningkat hingga dua digit yakni 11,28 persen yoy pada Juni 2021.

Hal ini disebabkan meningkatnya disposable income (pendapatan masyarakat yang tersimpan di rekening bank) karena penggunaan dana untuk konsumsi dan keperluan lain oleh masyarakat juga menurun.

"Ini yang menyebabkan DPK perbankan terkesan meningkat tajam dibandingkan peningkatan kredit di masa pandemi, karena sebenarnya pemilik dana tidak menggunakan dananya secara normal sebagaimana di masa sebelum pandemi," kata Wimboh belum lama ini.

Pada saat yang sama, lanjutnya, Bank Indonesia (BI) melonggarkan kebijakan moneternya dengan menurunkan rasio GWM rupiah sehingga menambah likuiditas yang sangat longgar di perbankan, tecermin pada rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) yang tinggi, yakni 32,95 persen.

Bagi perbankan, kondisi likuiditas yang amat longgar harus diproduktikan dengan strategi yield enhancement melalui penempatan ekses likuiditas di instrumen investasi yang memberikan yield positif dan risiko termitigasi.

Surat Berharga Negara (SBN) yang diterbitkan pemerintah (Kemenkeu) menjadi instrumen paling tepat sehingga bank dapat menikmati pendapatan dari yield SBN sekaligus bank memainkan peran intermediasi secara tidak langsung.

"Bagi bank publik, pemegang saham dan investor menilai manajemen bank mampu mengelola going concern mereka terkait profitabilitas bank karena bagaimana pun bank dituntut mampu membukukan earnings atau laba yang baik," terangnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : M. Richard
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper