Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pinjol Ilegal Meresahkan, Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel Usulkan Ini ke OJK

Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel memberikan usulan kepada otoritas terkait dengan pinjaman online ilegal yang meresahkan masyarakat.
Wakil Ketua DPR RI Rachmat Gobel / dpr.go.id
Wakil Ketua DPR RI Rachmat Gobel / dpr.go.id

Bisnis.com, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR RI Rachmat Gobel meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan moratorium terhadap aktivitas pinjaman online (pinjol). Hal tersebut diusulkan seiring makin maraknya praktik ilegal yang sangat merugikan masyarakat.

“Tiap hari kita disodori berita yang menyedihkan dari masyarakat yang terbelit masalah akibat praktik tidak sehat dari pengelola pinjaman online. Bahkan ada yang bunuh diri karena tidak bisa membayar cicilan utang yang membengkak secara luar biasa. Pinjam satu-dua juta, tapi pengembaliannya bisa sampai puluhan juta. Ini kan tidak masuk akal. Untuk melindungi masyarakat, saya minta OJK melakukan moratorium. Setop dulu,” ujar Gobel dalam keterangan tertulisnya, dikutip Jumat (17/9/2021).

Dia mengakui, ide awal dari kelahiran pinjol ini adalah untuk meningkatkan inklusivitas sektor keuangan. Namun, dalam praktiknya terlihat ada ketidaksiapan dari berbagai lembaga terkait. Menurutnya, inilah yang kemudian membuat munculnya praktik tidak sehat, bahkan menjamurnya pengelola pinjol ilegal, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

"Seperti diberitakan di berbagai media, rakyat kecil banyak terjerat pinjol. Mereka teriming kemudahan pinjol, tapi kemudian tak mampu membayar karena bunganya yang berlipat. Padahal mereka sedang kesusahan, seperti kemiskinan maupun kehilangan pekerjaan. Kalau praktik pinjol seperti ini maka mereka menjadi seperti rentenir,” katanya.

Otoritas keuangan, menurutnya, perlu melakukan evaluasi serius terhadap keberadaan pinjol. Mereka perlu membuat pemetaan dari berbagai masalah yang muncul selama ini dan bagaimana mengatasinya, termasuk bagaimana mengatasi perusahaan pinjol yang beroperasi dari luar negeri. Ini harus segera dilakukan, agar situasi tidak semakin memburuk.

Menurut data Satgas Waspada Investasi (SWI) OJK, penegakan hukum penanganan pinjol masih menghadapi banyak masalah, terutama yang ilegal. Mereka sulit ditangani karena pemilik pinjol ilegal hanya 22 persen yang memiliki server di Indonesia. Sedangkan 44 persen lainnya tidak terdeteksi dan sisanya berada di luar negeri.

Gobel mengatakan, maraknya pinjol juga harus menjadi indikator bagi otoritas keuangan untuk perlu instrospeksi bagi lembaga-lembaga keuangan seperti bank, koperasi, dan Permodalan Nasional Madani (PNM).

“Maraknya pinjol tidak terlepas dari ketidakmampuan bank, koperasi, dan PNM menjangkau orang-orang yang sedang kesusahan tersebut,” katanya.

Oleh karena itu, Gobel berpendapat, pemerintah dan otoritas keuangan segara memperkuat perbankan untuk rakyat kecil, koperasi, dan PNM.

“Berikan prosedur yang lebih mudah dan perkuat jejaringnya agar bisa menjangkau ke seluruh pelosok negeri," tuturnya.

Menurut survei Bank Indonesia (BI), pelaku usaha kecil yang sudah mendapat aliran kredit dari bank sebenarnya baru mencapai 30,5 persen dari total UMKM yang ada di dalam negeri. Sementara, sisanya 69,5 persen belum mendapat akses kredit dari bank. Dari jumlah tersebut, sekitar 43 persen dinilai sangat membutuhkan kredit dengan potensi bisa mencapai Rp1.600 triliun.

“Jadi kesenjangan kredit masih tinggi. Oleh karena itu, tidak boleh menyalahkan masyarakat jika mereka tergiur dengan pinjol. Mereka sangat membutuhkan pembiayaan, tapi bank, koperasi dan PNM tidak mampu melayani kebutuhan itu. Kondisi inilah yang harus dibenahi,” tutur Gobel.

Dari sisi regulasi, menurutnya, perlindungan terhadap masyarakat belum kuat karena kehadiran perusahaan pinjol baru diatur berdasarkan Peraturan OJK Nomor 77 Tahun 2016. Selain itu, sampai saat ini, RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) belum juga bisa disahkan karena pemerintah tidak setuju dibentuknya lembaga pengawas yang bersifat independen.

Terkait dengan aktivitas keuangan digital seperti pinjol, Indonesia membutuhkan UU Financial Technology (Fintech) dan UU PDP. Namun, sampai saat ini UU Fintech masih menjadi wacana, sementara untuk pembahasan UU PDP belum ditemukan kata sepakat antara DPR dan pemerintah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper