Bisnis.com, JAKARTA - Industri teknologi finansial peer-to-peer (P2P) lending telah memanfaatkan infrastruktur pendukung yang mampu membantu para peminjam (borrower) membangun rekam jejak kredit secara digital.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Sunu Widyatmoko menjelaskan bahwa infrastruktur ini bernama Fintech Data Center (FDC) atau secara awam bisa disebut BI Checking ala fintech.
Jauh berbeda dengan pinjaman online (pinjol) ilegal yang melakukan kejahatan terhadap data pribadi pengguna, FDC yang dimanfaatkan oleh para platform resmi anggota AFPI justru didorong membawa kemaslahatan lebih besar untuk para borrower.
"Jadi ini bisa dimanfaatkan untuk membangun rekam jejak atau credit history. Misalnya, suatu borrower tercatat di FDC selalu bayar tepat waktu, maka apabila mengajukan pinjaman lebih tinggi di kemudian hari akan lebih mudah. Biaya pun bisa jadi dikenakan lebih murah karena sudah ada rekam jejak profil risiko yang lebih rendah," ujarnya dalam Dialog Kebangsaan 'Pemberantasan Pinjol Ilegal', Selasa (9/11/2021).
Sunu menjelaskan bahwa pada hakikatnya, FDC digunakan para anggota AFPI untuk melakukan pengecekan apakah suatu borrower memiliki rekam jejak hitam atau tunggakan di platform lain, serta mengecek potensi pinjaman berlebihan karena AFPI membatasi borrower mengakses pinjaman ke lebih dari 5 platform fintech P2P lending.
Namun demikian, infrastruktur ini juga bisa dimanfaatkan pengguna untuk membangun rekam jejak kredit secara digital karena terintegrasi pula dengan lembaga jasa keuangan lain, terutama untuk borrower pelaku usaha.
Baca Juga
"Selain lebih mudah untuk mengakses pinjaman ke platform resmi, sistem ini membuat borrower pelaku usaha juga dimudahkan ketika sudah membutuhkan akses kredit di atas Rp2 miliar [batas atas pinjaman P2P lending sesuai regulasi]. Perbankan bisa lihat track record pelaku usaha, apakah terpercaya dan punya riwayat kredit yang baik selama menjadi borrower P2P lending," tambahnya.
Adapun, Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sekaligus Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK, Riswinandi Idris menjelaskan bahwa pihaknya terus mendorong infrastruktur ini dimanfaatkan para platform sebagai langkah mitigasi risiko.
Mirip dengan sistem besutan asosiasi, OJK sendiri mengembangkan Pusat Data Fintech Lending [PUSDAFIL]. Bedanya, sistem ini sekaligus berguna sebagai bentuk Supervisory Technology (SupTech) untuk pengawasan kualitas penyaluran pinjaman dan kesehatan kinerja keuangan para platform di dalam industri fintech P2P lending.
"Sampai saat ini sudah ada 102 perusahaan yang terkoneksi dan kami akan terus lanjutkan integrasi ini, supaya para pelaku industri fintech P2P lending bisa melakukan pengecekan sebelum menyalurkan pinjaman kepada calon nasabahnya," ujarnya.
Sebagai catatan, sampai akhir Oktober 2021 penyelenggara fintech P2P lending legal di bawah naungan OJK hanya 104 platform, dengan rincian 101 platform berizin, sementara 3 platform sisanya masih terdaftar atau menjalani proses kelayakan memperoleh perizinan.
"Nantinya, seluruh transaksi akan dimonitor dan diawasi secara langsung oleh OJK. Baik itu pengawasan terhadap limit pinjaman, monitor tingkat keberhasilan pinjaman, kepatuhan di wilayah penyaluran pinjaman, dan lain-lain hal, untuk menilai kesesuaian suatu platform terhadap regulasi dan aturan yang telah disepakati bersama," jelasnya.