Bisnis.com, JAKARTA - Pencabutan izin PT OVO Finance Indonesia (OFI) oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menimbulkan kesalahpahaman yang berujung pada hoaks penutupan dompet digital OVO besutan PT Visionet Internasional.
Karaniya Dharmasaputra, Presiden Direktur OVO yang sekaligus CEO PT Bareksa Portal Investasi (Bareksa) dan Wakil Ketua Umum I Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) menjelaskan bahwa OVO sebagai perusahaan penyedia jasa pembayaran dan penerbit uang elektronik memiliki lisensi dari Bank Indonesia (BI).
OFI bukanlah anak perusahaan maupun subsidiary dari kelompok perusahaan uang elektronik OVO. Sehingga pencabutan izin OFI oleh OJK, sama sekali tidak ada pengaruhnya terhadap semua lini bisnis dalam kegiatan usaha uang elektronik OVO.
"Jadi, kabar yang beredar bahwa uang elektronik OVO ditutup itu sepenuhnya adalah hoaks dan merupakan berita bohong belaka. Semua layanan dan operasional OVO berjalan normal seperti biasanya. Saldo pengguna di aplikasi OVO kami pastikan aman sepenuhnya," ujarnya dalam keterangan resmi, Rabu (10/11/2021).
Juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot pun memastikan bahwa tidak ada keterkaitan antara OFI sebagai multifinance dan OVO sebagai dompet digital.
Baca Juga
"OJK mencabut izin usaha OFI yang merupakan perusahaan pembiayaan [multifinance]. Perusahaan tersebut merupakan entitas yang berbeda dengan platform OVO dari PT Visionet Internasional yang merupakan penyelenggara uang elektronik di bawah pengawasan Bank Indonesia," jelasnya.
Adapun, pencabutan izin usaha OFI dilakukan karena perusahaan mengembalikan izin usaha multifinance atas dasar keputusan pemilik perusahaan karena pertimbangan faktor eksternal dan internal.
Oleh sebab itu, patut dicatat bahwa ada beberapa jenis fintech yang diawasi BI dan beberapa jenis lainnya diawasi OJK. Apa perbedaannya?
BI melakukan pengawasan dan penerbitan legalitas penyelenggaraan fintech di bidang pembayaran atau payment gateway, transfer dana, dan segala yang berhubungan erat dengan sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah.
OVO sendiri tercatat mengambil tiga lisensi dari BI, yaitu penyelenggara QRIS (tanda berizin BI no 21/276/DKSP/Srt/B tanggal 16 Agustus 2019), penyelenggara uang elektronik (tanda berizin BI no 19/661/DKSP/Srt/B tanggal 07 Agustus 2017), dan penyelenggara transfer dana bukan bank (tanda berizin BI no 19/206/DKSP/72 tanggal 07 Agustus 2017).
Sementara fintech di bawah pengawasan OJK merupakan lembaga jasa keuangan (LJK) yang menyelenggarakan layanan seperti pinjam-meminjam, asuransi, penerbitan efek UMKM, agen penjual efek reksa dana (APERD), dan banyak fintech lain dari berbagai klaster.
Fintech pendanaan bersama (P2P lending) di sektor industri keuangan non-bank (IKNB) contohnya Investree, Modalku, atau KoinWorks. Sementara di sektor pasar modal ada securities crowdfunding (SCF) atau platform urun dana penerbitan efek UMKM, seperti Bizhare, Santara, atau LandX. Terakhir, fintech yang memiliki lisensi APERD contohnya Bareksa, Bibit, dan Moduit.
OJK juga melakukan pengawasan buat fintech di klaster-klaster yang belum mendapatkan aturan khusus, atau masih termasuk ke dalam klaster inovasi keuangan digital (IKD/objek regulatory sandbox).
Misalnya, aggregator layanan keuangan seperti Cermati atau Finpedia, marketplace asuransi seperti Pasar Polis atau Qoala, financial planner seperti Finansialku atau Halofina, dan masih banyak lagi.
Adapun, beberapa fintech penyedia jasa pembiayaan dengan skema bayar tunda (BNPL/paylater) memang memilih mengambil lisensi multifinance, contohnya Kredivo dan Akulaku. Tapi ada pula yang memilih menyediakan layanan ini lewat lisensi P2P lending klaster konsumtif, misalnya Adakami, Maucash, atau Indodana.