Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Gonjang-Ganjing Startup, Industri Fintech P2P Lending Kok Santai Saja?

Para startup pemain industri fintech P2P lending terbilang adem-ayem di tengah tren startup sektor lain yang sedang ramai-ramai melakukan efisiensi. Bahkan, beberapa platform P2P justru baru mendapat suntikan dana segar di tahun ini.
Ilustrasi P2P lending atau pinjaman online (pinjol)/Samsung.com
Ilustrasi P2P lending atau pinjaman online (pinjol)/Samsung.com

Bisnis.com, JAKARTA - Kendati mayoritas pemain industri teknologi finansial pendanaan bersama (fintech P2P lending) masih berstatus perusahaan rintisan (startup), para platform tergolong tahan banting dari gejolak yang menimpa iklim bisnis startup di Tanah Air. Apa rahasianya?

Sebagai pengingat, fintech P2P lending adalah platform yang mempertemukan masyarakat atau pelaku usaha yang punya kebutuhan pinjaman atau disebut borrower, dengan individu atau institusi yang berminat meminjamkan dana atau disebut lender.

Kegiatan fintech P2P lending telah memiliki aturan resmi dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tepatnya melalui jajaran pengawas Industri Keuangan Non-Bank (IKNB).

Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah mengungkap bahwa salah satu alasan kenapa model bisnis platform industri P2P lending terbilang tahan banting, sebab credit gap di Indonesia masih sangat tinggi, mencapai Rp1.650 triliun per tahun.

Hal tersebut membuat akses kredit oleh lembaga keuangan alternatif seperti P2P lending begitu dibutuhkan masyarakat di Tanah Air. Terlebih, tidak semua individu atau pelaku usaha di Indonesia sudah layak dan mampu menerima kredit dari lembaga keuangan konvensional.

"Ini membuat fenomena industri fintech P2P lending di Indonesia itu terbilang unik. Karena beda jauh dari fenomena di negara maju yang kebanyakan warganya sudah bankable, sehingga fintech itu rebutan nasabah dengan perbankan. Kalau di sini, kami justru bisa jadi front-end dari lembaga keuangan konvensional," ujarnya dalam diskusi terbatas dengan beberapa media, dikutip Jumat (24/6/2022).

Kus mencontohkan, segmen borrower tersebut, misalnya masyarakat yang belum punya riwayat kredit, tidak punya aset sebagai agunan pengajuan kredit, pelaku UMKM yang bisnisnya baru berdiri kurang dari dua tahun, pekerja sektor informal yang pendapatan bulanannya tidak tetap, serta beragam segmen-segmen lain yang hampir pasti ditolak ketika mengajukan kredit ke lembaga keuangan konvensional.

Oleh sebab itu, menurutnya masuk akal apabila startup fintech dalam industri ini punya model bisnis yang lebih stabil dibandingkan startup lain, bahkan startup fintech klaster lain. Sebab, pemain P2P lending tak perlu 'bakar uang' untuk akuisisi pengguna, karena besar potensi pengguna akan datang dengan sendirinya.

Sebagai informasi, gejolak yang sedang menimpa startup pada periode ini terutama berasal dari potensi keringnya kucuran pendanaan investor. Tren ini memaksa startup memperpanjang nafas lewat efisiensi, memperbaiki fundamental bisnis, dan tidak bisa lagi hanya mengandalkan putaran pendanaan baru untuk bertahan hidup.

"Jadi bisa dibilang, 102 platform dalam industri P2P lending cukup reliable. Buktinya, di saat kredit nasional hanya tumbuh 7 persen tahun lalu, kami tumbuh 112 persen. Artinya, ada kehandalan yang membuat tumbuhnya kepercayaan kepada kami. Bukan hanya dari sisi pengguna selaku peminjam, tapi juga kepercayaan dari sisi lender individu maupun lender institusi," tambahnya.

Adapun, apabila melihat kinerja laba-rugi para pemain, Kus mengakui bahwa mayoritas masih merugi. Namun, setidaknya para pemain sudah berada dalam jalur profitabilitas, sehingga AFPI optimistis rata-rata platform bisa mulai meraup cuan setelah 3-4 tahun beroperasi.

Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) 2B OJK Bambang W Budiawan pun sepakat bahwa banyaknya platform P2P lending yang masih merugi bukan berarti mencerminkan mereka sedang berada dalam kondisi keuangan tidak sehat.

Namun, fenomena ini murni disebabkan industri masih seumur jagung, sehingga mayoritas pemain masih fokus mengejar pertumbuhan. Terlebih, sebagian besar pemain baru mendapatkan izin operasional kurang dari setahun.

"Per Maret 2022, total agregat laba bersih industri P2P lending memang negatif. Namun, pada periode akhir 2021, nilai agregat laba bersih industri sebenarnya sudah berhasil positif Rp208,6 miliar. Artinya, kebanyakan pemain masih berkembang dan butuh terus berekspansi, sehingga berdampak menggerus pendapatan di awal tahun ini," ujarnya kepada Bisnis.

Oleh sebab itu, ke depan fokus pengawasan OJK terhadap industri P2P lending, yaitu agar para pemain terjaga dalam koridor bertumbuh secara sehat. Beberapa indikatornya, antara lain kinerja keuangan telah berada dalam jalur profitabilitas, serta memastikan setiap pemain memiliki ekuitas yang memadai untuk beroperasi.

"OJK sedang dalam proses penyiapan aturan baru mengenai penyelenggaraan P2P lending, salah satunya ditujukan untuk memastikan penyelenggara memiliki ekuitas yang cukup untuk mengembangkan usahanya secara sehat," tambahnya.

Adapun, dari kaca mata investor modal ventura, minat pendanaan kepada startup klaster fintech, terutama yang bergerak di bisnis penyaluran kredit, terbilang lebih terjaga.

Investment Analyst Central Capital Ventura Deandra Fidelia Marbun mengungkap dua alasannya, yaitu model bisnis yang sudah teruji, serta fleksibilitas buat exit-strategy karena sektor ini juga jadi incaran aksi korporasi startup lain.

"Sudah terbukti di seluruh dunia, tipe perusahaan apa pun, itu ujung-ujungnya berupaya menjadi finance company. Tak terkecuali startup, kemungkinan besar juga mengincar fintech," ujarnya dalam diskusi Mini Conference: Startup Report 2021-2022 Q1 besutan DailySocial beberapa waktu lalu.

Sebagai gambaran, industri P2P lending saat ini diramaikan oleh 102 platform. Kurang dari 10 persen di antaranya merupakan platform yang telah terafiliasi korporasi besar, contohnya Danamas milik Grup Sinar Mas Multiartha (SMMA), Maucash milik Astra, atau Pinjam Modal milik BFI Finance (BFIN).

Sebagian besar lainnya, merupakan startup yang baru mencapai putaran pendanaan Seri A, bahkan Pra-Seri A. Adapun, para platform senior seperti Investree dan Amartha, saat ini tercatat mencapai Seri C.

Sepanjang 2022, setidaknya ada yang mendapatkan putaran pendanaan baru dari investor, antara lain KoinWorks di Seri C senilai US$43 juta, Julo di Seri B senilai US$80 juta, Modalku di Seri C+ senilai US$144 juta, AwanTunai di Seri A3 senilai US$8,5 juta, dan Danai di Pra-Seri A dengan nilai yang tidak disebutkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Aziz Rahardyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper