Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

P2P Lending Kena PPN, AFPI Masih Optimistis Pinjaman Tembus Rp220 Triliun Tahun Ini

Proyeksi berpotensi tertekan oleh dampak kebijakan perpajakan baru dari pemerintah, apabila berpengaruh secara signifikan terhadap para pemain industri fintech P2P lending.
Ilustrasi - AFPI tetap optimistis pinjaman tembus Rp220 triliun pada tahun ini meskipun P2P lending kena PPN. /Samsung.com
Ilustrasi - AFPI tetap optimistis pinjaman tembus Rp220 triliun pada tahun ini meskipun P2P lending kena PPN. /Samsung.com

Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) optimistis penyaluran pinjaman industri teknologi finansial pendanaan bersama (P2P lending) masih bisa tumbuh sesuai proyeksi awal.

Direktur Eksekutif AFPI Kuseryansyah menjelaskan sampai saat ini belum ada sentimen yang membawa pengaruh negatif kepada tren penyaluran pinjaman industri, yang proyeksinya tumbuh 50 persen (year-on-year/yoy) dari tahun lalu.

Akan tetapi proyeksi berpotensi tertekan oleh kebijakan perpajakan baru. Saat ini industri diramaikan oleh 95 platform konvensional dan 7 platform syariah.

"Kebijakan perpajakan pasti akan ada pengaruhnya, tapi sampai ini belum terlihat apakah signifikan atau tidak. Namun, kami yakin kebutuhan terhadap pinjaman dari industri fintech P2P lending masih ada, karena Indonesia masih memiliki credit gap yang tinggi," ujarnya dalam diskusi terbatas bersama media, Rabu (22/6/2022).

Sebagai informasi, kebijakan perpajakan anyar yang akan berpengaruh terhadap industri P2P lending tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69/PMK.03/2022 tentang PPh dan PPN Atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial. Beleid menerangkan aturan ini mulai berlaku per 1 Mei 2022.

Terkhusus platform P2P lending, beleid ini mengatur mekanisme pengenaan pajak penghasilan (PPh) atas imbal hasil atau bunga yang diterima pemberi pinjaman (lender), serta pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas fee dan komisi segala jasa besutan platform, termasuk penyaluran pinjaman kepada penerima pinjaman (borrower).

Dengan kebijakan perpajakan ini, artinya biaya layanan platform fintech P2P lending berpotensi semakin mahal. Tinggal bagaimana nantinya masing-masing platform memilih strategi yang akan diusung, antara lain lewat menekan imbal hasil dari sisi lender, menambah biaya dari sisi borrower, atau bahkan menerapkan keduanya.

Adapun, tahun lalu penyaluran pinjaman industri P2P lending mencapai Rp155,97 triliun, dari sekitar 103 juta entitas lender kepada lebih dari 297,8 juta entitas borrower. Dengan kata lain, tahun ini AFPI memproyeksikan penyaluran bisa menyentuh sekitar Rp220 triliun.

Terkini, berdasarkan statistik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per April 2022, realisasi penyaluran pinjaman sepanjang tahun berjalan terealisasi Rp71,32 triliun kepada 57,1 juta entitas borrower.

"Kalau dilihat tren penyaluran pinjaman bulanan sampai saat ini, masih ada harapan bisa mencapai kisaran Rp220 triliun. Kami akan memproyeksikan ulang setelah melihat tren mulai semester II/2022, setelah melihat bagaimana pengaruh kebijakan perpajakan terhadap para platform," tambahnya.

Adapun, outstanding industri per April 2022 hanya tersisa Rp32,78 triliun dari 13,5 juta rekening borrower aktif. Hal ini mencerminkan industri P2P lending masih berperan sebagai pelengkap ekosistem layanan keuangan Tanah Air di ranah pinjaman bertenor singkat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Aziz Rahardyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper