Bisnis.com, JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) optimistis kualitas kredit perbankan tetap terjaga dengan baik di tengah bayang-bayang lonjakan inflasi akibat kenaikkan harga bahan bakar minyak (BBM)
Atas keyakinan itu, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menilai masih terlalu cepat untuk merespons dampak kenaikkan BBM terhadap kapasitas debitur dalam membayar kredit. OJK, lanjutnya, juga terus melakukan komunikasi dengan berbagai pihak, dan meyakini bahwa meski inflasi akan memberi dampak, kualitas kredit tetap terjaga.
“Relatif masih tetap terjaga, dalam kondisi yang berkelanjutan [pertumbuhan ekonomi] di atas 5 persen,” kata Mahendra di Jakarta, Senin (5/9/2022).
Dia mengatakan kenaikkan harga BBM merupakan suatu kebijakan yang ditunggu untuk menunjukkan sinyal bahwa pemerintah menghadapi dan memitigasi kenaikkan harga minyak dunia dengan suatu kebijakan yang tepat. Kebijakan tersebut, lanjutnya, diharapkan dapat menambah rasa percaya diri, dengan pencapaian yang akan dilaporkan pada waktunya nanti.
“Kalau rasa percaya diri itu kuat, LDR masih ada ruang untuk dapat ditingkatkan, permintaan pada produk barang dan jasa itu tinggi, optimisme untuk respons yang cukup positif,” kata Mahendra.
Sementara itu, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan yang juga Anggota DK OJK Dian Ediana Rae mengatakan masih mempelajari dampak dari kenaikkan BBM dan akan disampaikan pada pertemuan lain dengan lebih detail, begitupun dengan restrukturisasi kredit Covid-19.
Baca Juga
“Ke depan kami akan melakukan perpanjangan restrukturisasi secara targeted. Kalau targeted ini sudah dilihat bagaimana sektor dan segmentasi pasar, dan mungkin setelah ini bisa kita lihat.,” kata Dian.
Sebelumnya, OJK mencatat restrukturisasi kredit di perbankan terus mengalami penurunan, hal ini menandakan bahwa kondisi perekonomian mulai membaik. Kendati demikian, sektor akomodasi dan makanan serta minuman (mamin) dinilai masih membutuhkan restrukturisasi kredit.
OJK menyampaikan kondisi restrukturisasi kredit di perbankan yang pada saat puncak pandemi Covid-19 mencapai hampir Rp850 triliun, pada saat ini telah turun ke Rp560 triliun. Hampir 40 persen dari kredit yang direstrukturisasi tadi sudah dapat kembali sehat atau keluar dari program restrukturisasi. Pada Agustus 2020 jumlah debitur restrukturisasi kredit mencapai 6,84 juta, pada Juni 2022 turun menjadi 2,94 juta.
Adapun sektor yang masih membutuhkan restrukturisasi kredit tambahan, yang utama adalah sektor akomodasi dan makanan serta minuman. Proporsi restrukturisasi kredit di sektor tersebut masih konsisten di level yang cukup tinggi yaitu sebesar 43,69%.
Kemudian satu sektor lain yang cukup mencolok juga, ujar Mahendra, adalah sektor real estate dan sewa dengan proporsi restrukturisasi kredit 17,9% per Juli 2022. Pada Desember 2021, proporsi restrukturisasi kredit di sektor real estate dan sewa sebesar 24,79%.