Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sikap BPJS Kesehatan atas Layanan Inap Standar (KRIS)

KRIS itu secara ekstrim yang tujuannya ingin menyamaratakan pelayanan, tapi justru bisa menciptakan diskriminasi baru di dalam pelayanan rumah sakit.
Pasien anak dibantu perawat membuat origami selama menjalani rawat inap di Rumah Sakit Swasta di kawasan Semanggi, Jakarta./JIBI-Dwi Prasetya
Pasien anak dibantu perawat membuat origami selama menjalani rawat inap di Rumah Sakit Swasta di kawasan Semanggi, Jakarta./JIBI-Dwi Prasetya

Sikap BPJS Kesehatan atas Layanan Inap Standar (KRIS)

Senada dengan Bambang, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan bahwa implementasi KRIS di rumah sakit tidak perlu dilakukan tergesa-gesa dengan tujuan yang jelas, sebab itu menjadi hal yang paling krusial. Oleh sebab itu, Ghufron menekankan penerapan KRIS dilakukan mulai dari tahap uji coba, lalu beranjak ke tahap evaluasi secara bertahap.

“Kalau dari BPJS Kesehatan, yang penting kalau KRIS itu mesti harus jelas tujuannya, mau untuk meningkatkan mutu, pemerataan, atau menutup defisit. Kalau sekarang, BPJS sudah tidak defisit. Oleh karena itu, kami berharap kalau KRIS untuk meningkatkan mutu, layanan, atau pemerataan,” terangnya.

Sebagaimana diketahui, BPJS Kesehatan mampu mencetak surplus tahun berjalan pada tahun lalu sebesar Rp44,45 triliun. Secara rinci, surplus aset neto dana jaminan sosial kesehatan mencapai Rp38,76 triliun. Kondisi ini berbanding terbalik dengan tahun-tahun sebelumnya yang masih membukukan defisit senilai Rp5,69 triliun pada 2020 dan defisit Rp51 triliun di 2019.

Sementara itu, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai bahwa peraturan KRIS hanya berfokus pada aspek infrastruktur rumah sakit, seperti kamar pasien. Menurutnya, aspek seperti itu bukan menjadi persoalan yang dikeluhkan konsumen atau pasien dalam hal pelayanan rumah sakit. Adapun, aspek yang lebih urgent adalah keberadaan sumber daya manusia (SDM).

"KRIS itu secara ekstrim yang tujuannya ingin menyamaratakan pelayanan, tapi justru bisa menciptakan diskriminasi baru di dalam pelayanan rumah sakit," ujarnya.

Selain itu, dia memandang bahwa pelayanan KRIS juga akan berdampak terhadap kenaikan iuran yang kemudian akan memberatkan masyarakat. Tak hanya itu, dia menyebut revenue rumah sakit juga akan mengalami penurunan.

Dia mencontohkan salah satu rumah sakit umum daerah (RSUD) yang telah menerapkan KRIS. Di sana, kata Tulus, revenue yang didapatkan hanya 48 persen, sedangkan sisanya ditanggung dari APBD.

"Saya khawatir, program ini [KRIS] justru akan mereduksi pendapatan rumah sakit, merugikan rumah sakit dan pelayanan kepada masyarakat," tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Rika Anggraeni
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper