Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

BPJS Kesehatan Defisit Rp7,14 Triliun, Kenaikan Iuran Disebut jadi Solusi Selamatkan JKN

Defisit BPJS Kesehatan setelah beban jaminan kesehatan naik menjadi Rp174,9 triliun pada 2024, meningkat 10,13% dibandingkan sebelumnya Rp158,85 triliun.
Karyawan melayani peserta di salah satu kantor cabang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Jakarta, Senin (19/5/2025). Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Karyawan melayani peserta di salah satu kantor cabang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Jakarta, Senin (19/5/2025). Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA — Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar menilai defisit BPJS Kesehatan menjadi warning bagi keberlanjutan sistem jaminan kesehatan nasional (JKN). Dia menyebut situasi defisit sudah terlihat akan terjadi sejak 2023 di mana klaim sudah di atas 100% dari iuran namun masih surplus. Sedangkan pada 2025 ini defisit akan semakin besar karena rasio klaim diprediksi mencapai 111%.

"Ini sudah di atas batas 100%. Kalau dibiarkan, aset bersih akan habis," kata Timboel kepada Bisnis, Jumat (4/7/2025).

Sebagai informasi, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mencatatkan defisit sebesar Rp7,14 triliun sepanjang 2024, setelah lima tahun mencatatkan surplus. Kondisi ini menjadi sinyal waspada bagi keberlanjutan sistem jaminan sosial kesehatan nasional.

Defisit terjadi setelah beban jaminan kesehatan naik signifikan menjadi Rp174,9 triliun pada 2024, meningkat 10,13% dibandingkan tahun sebelumnya sebesar Rp158,85 triliun. Sementara itu, beban operasional juga naik dari Rp4,32 triliun menjadi Rp5,77 triliun, tumbuh 33,56%.

Di sisi lain, pendapatan iuran hanya tumbuh dari Rp151,69 triliun menjadi Rp165,34 triliun. Pendapatan investasi justru menurun dari Rp5,7 triliun menjadi Rp5,3 triliun, dan pendapatan lain termasuk saldo kapitasi (Silpa) juga tercatat turun. Akibatnya, total Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan hanya terkumpul Rp171 triliun, lebih rendah dari total beban sebesar Rp178,85 triliun. Kondisi ini membuat aset DJS turun dari Rp94,27 triliun menjadi Rp82,4 triliun, terutama oleh penurunan kas dari Rp52,27 triliun menjadi Rp32,42 triliun.

Timboel menilai penghapusan sekitar 7,5 juta peserta JKN dalam kategori penerima bantuan iuran akan membuat kinerja keuangan BPJS Kesehatan pada 2025 akan membuat kinerja lebih tertekan. Belum lagi sebanyak 50% atau sekitar 15 juta peserta mandiri masih menunggak iuran, yang menandakan perlu adanya evaluasi terhadap skema iuran dan kemampuan bayar (ability to pay).

"Peserta mandiri harus dilihat kemampuan bayarnya. Sekitar 50% menunggak karena iurannya naik signifikan dalam dua kali penerbitan perpres. Kalau tidak ditangani, potensi tambahan defisit bisa melebar," ujarnya.

Untuk mengatasi defisit dan memastikan keberlanjutan JKN, Timboel mendorong pemerintah menerima iuran dari DJSN yang menaikkan iuraniuran untuk peserta penerima bantuan iuran (PBI). Untuk diketahui, peserta PBI ditanggung oleh pemerintah iurannya sebesar Rp42.000. Sedangkan peserta kelas III yang setara dengan PBI membayar Rp35.000 dengan subsidi pemerintah Rp7.000.

"Untuk menyelamatkan JKN jangan komplain soal kenaikan PBI namun untuk peserta mandiri itu masih bisa diperdebatkan [kenaikan iurannya]," tegasnya.

Ia juga menyoroti hilangnya kontribusi pajak rokok, yang sebelumnya tercantum dalam laporan keuangan BPJS Kesehatan, namun kini tidak lagi terlihat. Padahal berdasarkan regulasi, pajak rokok memiliki potensi pemasukan sebesar Rp6 triliun untuk penyelenggaraan jaminan kesehatan.

“Pajak rokok ada karena ada cukai. Jangan diakali, karena itu amanat undang-undang,” tambahnya.

Lebih lanjut, Timboel menyebut pendapatan dari segmen pekerja penerima upah (PPU) yang dipungut BPSJ Kesehatan masih akan naik karena penyesuaian upah tahunan. Ia juga menilai Perpres yang membedakan peserta PBI dan kelas 3 untuk besaran iuran adalah sah, tetapi masalah tunggakan kelas III yang besar juga harus segera diselesaikan.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti menyampaikan bahwa penurunan aset neto dan belanja yang ditanggung makin besar. 

"Tahun ini RKAT pengeluaran lebih dari Rp200 triliun," ujar Ghufron kepada Bisnis. Meski demikian, ia memastikan kondisi aset neto saat ini masih dalam kategori sehat, namun perlu intervensi kebijakan untuk menekan defisit.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Anggara Pernando
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper