Bisnis.com, JAKARTA - Saat ini, sepertinya masyarakat Indonesia sudah semakin dekat menuju cashless society, yaitu masyarakat yang transaksi keuangannya dilakukan secara nontunai. Bahkan membeli segala hal di pasar tradisional, pedagang kaki lima, tukang bakso sekarang pun sudah lumrah dengan pembayaran nontunai. Hal ini disebabkan oleh inovasi yang kerap muncul di masyarakat yang memudahkan kita untuk melakukan transaksi yang tidak memakai uang tunai.
Pengguna QR Code Indonesian Standard (QRIS) di Indonesia saat ini sangat masif. Data September 2022 menunjukkan merchant yang menggunakan QRIS mencapai sekitar 21,4 juta merchant, didominasi oleh pulau Jawa sebanyak 17,7 juta merchant. Selain itu, ekspansi transaksi QRIS juga begitu besar, terdapat peningkatan 184% volume transaksi dan 352% nominal transaksi QRIS dari tahun lalu. Di mana besaran transaksi QRIS pada Agustus 2022 mencapai 91,73 juta transaksi dengan nominal sebesar Rp9,66 triliun.
Rasio volume transaksi QRIS pada bank dan non-bank adalah 38:62, sedangkan untuk rasio nominalnya 50:50. Hal ini menunjukkan bahwa banyaknya masyarakat bertransaksi menggunakan QRIS didominasi via nonbank, seperti penggunaan e-wallet, seperti Shopeepay, Gopay, Dana, dan Ovo, yang nyaris dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan menggunakan bank. Artinya, masyarakat masih lebih menyukai membayar dengan QRIS melalui nonbank.
Banyak indikasi yang muncul dari hasil ini, yang pertama, mungkin masyarakat yang menggunakan QRIS tidak memiliki rekening (unbankable) sehingga penggantinya adalah e-wallet yang gampang untuk diisi di gerai/agen seperti minimarket. Kedua, mungkin masyarakat memiliki rekening (bankable), tetapi tidak memiliki mobile banking sehingga lebih terbiasa untuk menggunakan nontunai dari e-wallet. Dan ini pun didukung dengan data bahwa volume dan nominal transaksi uang elektronik nonbank meningkat 39% dan 43,2% dari tahun lalu.
Dari data di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa QRIS mampu mengakselerasi dan memperluas transaksi keuangan nontunai, baik di kalangan masyarakat bankable maupun unbankable. Tidak heran jika QRIS memperluas potensinya dengan melewati ‘batas’ negara Indonesia atau boleh kita sebut dengan QRIS antarnegara.
Melewati batas biasanya merupakan konotasi yang negatif. Namun, kini artinya berbeda, ada sesuatu yang melewati batas, tetapi bisa dibilang pengaruhnya positif. QRIS antarnegara dapat digunakan untuk pembayaran di luar negeri. Turis asing dapat membayar menggunakan aplikasi negaranya dengan memindai QRIS di merchant Indonesia, ataupun sebaliknya, turis Indonesia dapat membayar menggunakan aplikasi pembayaran QRIS dengan memindai QR code di negara lain. QRIS sudah mulai merambah ke negara tetangga, yaitu Thailand sejak 29 Agustus 2022. Selanjutnya, Malaysia serta Singapura akan segera menyusul.
QRIS antarnegara akan mempermudah masyarakat dunia untuk bertransaksi di luar negeri yang terintegrasi. Kita tidak perlu repot untuk menukar uang ke mata uang lokal atau menyiapkan kartu kredit/debit untuk bertransaksi. Kursnya pun bersaing dan tidak mahal serta tidak ada charging fee dari besaran transaksi untuk pengguna (konsumen). Penggunaan QRIS juga tentunya akan mencegah risiko pengambilan cash di negara lain yang kursnya dipatok cukup mahal.
Jika penggunaan QRIS sudah diterima dengan luas seperti pemakaian kartu kredit/debit berlogo tertentu, maka bukan mimpi bahwa kita akan menuju ke cashless society, bahkan di luar negeri. Selain itu, bagi UMKM yang mempunyai buyer di luar negeri, pembayaran dengan QRIS akan jauh lebih mudah karena akan mirip dengan transfer bank biasa.
Untuk pembuat kebijakan, maka digitalisasi tentunya bisa didorong semaksimal mungkin. Artinya, masyarakat makin bisa menerima teknologi dan pemerintah sudah mendapatkan data yang akurat pada transaksi individu dan merchant. Dengan QRIS antarnegara, artinya data turis/WNA yang menggunakan QRIS atau berbelanja di Indonesia akan muncul.
Dari sana, banyak sekali informasi yang akan kita dapat, contohnya turis dari negara A sering berbelanja di tempat B, C, D di Indonesia. Kita bisa mengetahui demografi dari turis/WNA dan seberapa besar pengeluaran mereka di negara ini serta di tempat seperti apa. Begitu pula sebaliknya, kita juga bisa mengetahui berapa banyak pengeluaran orang Indonesia di luar negeri dan bagaimana karakter/pola belanja individu tersebut ketika di luar negeri. Dari big data ini, pemerintah diharapkan dapat membuat insight yang nantinya dapat dimanfaatkan untuk membuat data-driven decision agar kebijakan tepat sasaran dan makin efisien.
Tentu saja dibalik keuntungannya, pasti ada kekhawatiran yang menyertainya, yaitu keamanan data transaksi. Kebijakan antarnegara untuk QRIS ini tentunya perlu disosialisasikan. Khawatirnya, perbedaan kebijakan menjadi terbentur dengan kebutuhan sehingga masyarakat bisa jadi tidak percaya untuk menggunakan QRIS. Namun, pada akhirnya, QRIS harus mencoba melewati batas agar kita bisa berkembang dan mempercepat digitalisasi transaksi keuangan yang pada akhirnya akan memacu percepatan ekonomi Indonesia dengan kebijakan yang tepat.