Bisnis.com, JAKARTA— Gempa Turki disebut dapat memperpanjang kondisi hard market industri asuransi global. Hard market merupakan kondisi saat kapasitas menyusut, harga meningkat, dan term of condition diperketat.
Direktur Teknik PT Reasuransi Maipark Indonesia Heddy Agus Pritasa mengatakan kerugian finansial yang besar dapat memicu perpanjangan hardening market asuransi global. Menurut DataGlobal, perkiraan awal kerugian ekonomi akibat gempa di Turki mencapai US$1 miliar atau Rp15 triliun.
“Seperti umumnya siklus soft market atau hard market, kejadian bencana alam atau non alam yang dahsyat dengan nilai kerugian finansial yang sangat besar bisa berdampak akan timbulnya situasi hard market secara global,” kata Heddy kepada Bisnis, Kamis (9/2/2023).
Heddy melanjutkan bahwa kondisi tersebut mengakibatkan harga proteksi reasuransi naik dan juga dampak lanjutannya terhadap kenaikan premi asuransi. Dari peristiwa gempa Turki beberapa hari lalu, lanjut Heddy, diam mengimbau dunia usaha serta masyarakat umum di Indonesia untuk memiliki proteksi asuransi bencana.
“Ini untuk mengantisipasi kejadian bencana alam. Seperti yang kita ketahui bersama Indonesia merupakan negara yang rawan bencana,” katanya.
Hal serupa diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) Erwin Noekman. Dia mengatakan gempa bumi di Turki akan berdampak pada perubahan tarif reasuransi global.
Baca Juga
“Dari aspek asuransi utamanya asuransi umum dan asuransi syariah, tentunya gempa yang menimpa Turki dan Suriah akan turut berkontribusi terhadap perubahan tarif reasuransi secara global,” kata Erwin saat dihubungi Bisnis, Kamis (9/2/2023).
Namun Erwin mengaku belum mengetahui secara pasti apakah akan berdampak langsung ataupun tidak langsung. Terlebih total kerugiannya masih belum diketahui.
Erwin melihat dari kasus tersebut pentingnya memitigasi risiko finansial akibat bencana alam dengan asuransi. Terlebih Indonesia berada di wilayah lingkaran Asia Pasific.
“Bukan mendoakan yang buruk, tapi risiko serupa bisa saja terjadi menimpa kita di Indonesia,” katanya.
Diberitakan sebelumnya, Senior Analis Asuransi di Global Data Shabbir Ansari menyebutkan akan memakan waktu bertahun-tahun bagi perusahaan asuransi Turki untuk menyelesaikan kerugian akibat gempa pada 6 Februari lalu. Bahkan nilainya diperkirakan lebih dari dua kali lipat kerugian dari gempa serupa pada 2020.
Belum lagi, inflasi tahunan di Turki naik drastis pada 2022, memuncak pada 86 persen pada Oktober, sementara mata uang Turki kehilangan hampir 30 persen nilainya terhadap dolar AS selama tahun itu.
“Karena perusahaan belum pulih dari dampak gempa 2020, gempa baru-baru ini akan berdampak lebih jauh pada profitabilitas perusahaan asuransi properti. Akibatnya, perusahaan asuransi properti Turki diperkirakan akan mencatatkan kerugian penjaminan emisi pada tahun 2023 dan 2024,” kata Ansari.
Gempa berkekuatan Magnitudo 7,8 sebelumnya terjadi di Turki pada Senin (6/2/2023), diikuti beberapa jam kemudian oleh gempa kedua yang hampir sama kuatnya.
Kejadian tersebut meruntuhkan ribuan bangunan termasuk rumah sakit, sekolah dan blok apartemen. Puluhan ribu orang terluka dan menyebabkan banyak orang kehilangan tempat tinggal di Turki dan Suriah bagian Utara.