Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia dan Filipina kemungkinan besar akan memilih jalan berbeda dalam hal pengetatan suku bunga dengan dasar inflasi yang terjadi di masing-masing negara.
Melansir dari Bloomberg, para ekonom memproyeksikan Bank Indonesia akan mengerem pengetatan, sementara bank sentral Filipina masih akan menaikkan suku bunga.
Dua bank sentral di Asia Tenggara tersebut kemungkinan akan mengambil tindakan kebijakan yang berbeda pada hari Kamis, (16/2/2023) dalam rapat dewan gubernur karena jalur inflasi yang berbeda.
Bangko Sentral ng Pilipinas (BSP) diperkirakan akan kembali menaikkan suku bunga acuan untuk menstabilkan hargam, sedangkan Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI diperkirakan akan mempertahankan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR).
Dalam survei Bloomberg kepada 25 ekonom, bank sentral Filipina diperkirakan kembali menaikkan suku bunga acuan. Sebanyak 13 dari 25 ekonom memprediksi BSP akan menaikkan 50 basis poin (bps), sementara ekonom lainnya menyebut suku bunga akan naik 25 bps.
Di sisi lain, 26 dari 28 ekonom memproyeksikan Bank Indonesia (BI) tidak menaikkan suku bunga, sementara 2 ekonom lainnya melihat ada potensi kenaikan 25 basis poin.
Baca Juga
Berikut hal yang harus diperhatikan dalam keputusan suku bunga hari ini:
Indonesia
Gubernur BI Perry Warjiyo telah mengatakan bahwa total kenaikan suku bunga 225 basis poin sejak Agustus seharusnya cukup untuk mengekang inflasi. Sinyal kuat tersebut sejauh ini didukung oleh data inflasi yang lebih rendah dan mata uang yang relatif stabil.
Rupiah menguat lebih dari 2 persen dan mencatatkan kinerja terbaik di Asia sepanjang tahun ini. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Tanah Air telah kembali ke level pra-pandemi di kisaran 5 persen.
“Dimulainya kembali arus modal asing ke pasar utang menjadi pertanda baik bagi stabilitas makro, mendukung keputusan untuk mengerem siklus kenaikan,” tulis ekonom senior DBS Bank Ltd Radhika Rao.
Namun, Analis PT Bank Central Asia Tbk Lazuardin Thariq Hamzah dan Barra Kukuh memperkirakan melihat kekuatan rupiah dapat memudar seiring dengan penurunan surplus neraca perdagangan.
Seperti diketahui, Indonesia mencatatkan surplus neraca perdagangan US$3,87 miliar pada Januari, lebih rendah dari posisi Desember 2022 karena harga komoditas utama yang menyeret turun kinerja ekspor.
Investor akan mencermati bagaimana BI menilai sinyal terbaru dari bank sentral AS Federal Reserve mengenai puncak kenaikan suku bunga acuan, karena dapat melemahkan arus masuk modal dan mengekspos rupiah pada tekanan depresiasi yang lebih besar ke depan.