Bisnis.com, JAKARTA — Gejolak perbankan yang terjadi di Amerika Serikat, kemudian mendorong uang masuk ke aset-aset Asia.
Hal ini lantaran investor bertaruh bahwa China dan dan negara-negara berkembang di kawasan ini memiliki posisi yang lebih baik dalam menghadapi kondisi tersebut.
Mengutip dari Bloomberg (9/4/2023), Analis Citibank menanggapi mengenai kondisi keuangan global, menunjukan bahwa pasar keuangan Asia mengalami pengetatan yang lebih rendah dibandingkan dengan Amerika Serikat.
Diketahui juga bahwa sebagian besar mata uang Asia menguat terhadap dolar AS.
Johanna Chua, direktur pelaksana dan kepala analisis ekonomi dan pasar Asia-Pasifik di Citi, mengatakan bahwa Asia masih relatif terinsulasi dengan baik.
"Perlambatan yang berpusat pada AS berarti dolar AS akan bergerak lebih rendah, yang lebih mendukung arus modal di Asia." tuturnya mengutip dari Bloomberg (8/4/2023).
Baca Juga
Ekonom berpendapat bahwa salah satu faktor mengapa Asia-Pasifik jauh lebih mendukung adalah kebijakan moneter yang lebih lunak, dengan bank sentral di Australia, Korea Selatan, Indonesia dan India termasuk di antara mereka yang menghentikan siklus pengetatan kebijakan.
China sendiri dengan kebijakan moneter yang lebih longgar dan pembukaan kembali akibat tertunda karena Covid, menjadi daya tarik utama bagi investor.
David Chao, ahli strategi pasar global untuk Asia-Pasifik di Invesco Asset Management kepada Bloomberg Radio, Selasa (4/4/2023), mengatakan bahwa Investor masih melihat EM Asia sebagai wilayah yang paling disukai, diikuti oleh Eropa dan kemudian AS.
“Jika Anda berpikir bahwa Fed akan menekan tombol jeda pada kenaikan suku bunga, itu pasti akan mendorong arus modal kembali ke EM Asia.” lanjutnya.
Selain itu dengan berakhirnya siklus kenaikan The Fed di tengah stabilitas keuangan dan tanda-tanda penurunan permintaan, dapat membantu Asia dengan mengurangi tekanan dari dolar yang kuat pada keuangan eksternal.
Bukan hanya itu, hal tersebut juga dapat mengurangi daya tarik dolar AS sebagai safe haven.
Kemudian, Frederic Neumann, kepala ekonom Asia di HSBC Holdings Plc di Hong Kong juga mengatakan rebound China akan menyebar ke seluruh kawasan, yang juga mendapat manfaat dari diversifikasi rantai pasokan, booming komoditas, dan kurangnya pertumbuhan utang yang berlebihan.
Namun di lain sisi, tentunya masih ada risiko di Asia. Mengutip dari Bloomberg (9/4/2023) diketahui bahwa baru-baru ini terdapat data pabrik yang suram dari China yang meredam kepercayaan tentang kecepatan pemulihan negara.
Selain itu, Chao dari Invesco mengatakan bahwa hubungan China yang memburuk dengan AS, meningkatkan potensi risiko berinvestasi di tempat-tempat seperti Hong Kong dan Taiwan.
Selain itu, Asia juga tidak sepenuhnya dapat kebal dengan ketidakstabilan keuangan yang menyebar dari AS.
Jonathan Kearns, kepala ekonom di firma manajemen investasi Challenger Ltd. dan mantan pejabat bank sentral Australia mengatakan bahwa prospek sangat tergantung pada keadaan di Eropa dan Amerika Utara.
“Jika ada gejolak yang sedang berlangsung, itu akan menyebar ke Asia juga,” ucap Kearns.