Bisnis.com, JAKARTA - Di tengah kondisi ketidakpastian ekonomi global, PT Bank Syariah Indonesia Tbk. (BRIS) mengatakan bahwa saat ini posisi pencadangan dan investasi pada sistem informasi teknologi (IT) menjadi prioritas utama perseroan.
Wakil Direktur Utama Bob Tyasika Ananta menuturkan bahwa tahun ini, BSI menganggarkan dana belanja modal (capital expenditure/Capex) naik dua kali lipat mencapai Rp580 miliar.
"Dan even mungkin nanti melihat perkembangannya, bisa kita consider untuk [naik] jika memang diperlukan. Jadi kita memang perlu naik walaupun mungkin tidak di tahun ini, tapi kan Capex itu bisa multi years gitu lah kira-kira," jelasnya.
Adapun mengenai posisi pencadangan, manajemen BSI tersebut menjelaskan bahwa posisi cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) terhadap kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) saat ini sudah berada pada kisaran 180 persen.
Meskipun pada tahun ini BRIS menyampaikan komitmennya untuk memacu penebalan pada investasi sistem IT hingga tetap menjaga bantalan kredit bermasalah perseroan, posisi dividen payout ratio bank akan tetap dijaga pada level optimal.
"Kalau buat BSI sendiri dividend payout ratio-nya kan masa mau diturunin lagi? Sekarang aja mungkin hanya 25 persen," ungkapnya.
Baca Juga
Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar melihat, di tengah tantangan dan ketidakpastian kondisi global yang ada, alokasi laba untuk mendorong implementasi peningkatan manajemen risiko dinilai perlu menjadi perhatian industri perbankan.
"Kami mencermati bahwa rasio dividend payout dari berbagai bank nampak terlalu besar yang dapat membatasai kemampuan bank untuk melakukan investasi dalam mendukung transformasi dan inovasi digital yang sangat diperlukan," jelasnya dalam agenda Rapat Umum Anggota Ikatan Bankir Indonesia.
Di samping itu, seiring dengan akan berakhirnya program restrukturisasi kredit industri perbankan pada Maret 2024 mendatang, OJK mengimbau industri jasa keuangan untuk dapat mempersiapkan penebalan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN).
"Membentuk CKPN yang memadai dalam menjaga proses exit dari restrukturisasi kredit pasca-pandemi secara mulus. Terlebih lagi, semua itu terjadi di tengah risiko yang ditimbulkan oleh gejolak bank di berbagai negara," pungkasnya.