Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Perluas Pencegahan Polusi Udara, OJK Revisi Aturan Taksonomi Hijau

Di tengah peningkatan polusi udara di Tanah Air, baik karena kendaraan, industri, hingga kebakaran lahan, OJK melakukan revisi aturan taksonomi hijau.
PLTS Terapung Cirata 145 MW terbesar di Asia Tenggara yang dibiayai melalui konsorsium sejumlah lembaga keuangan Tanah Air./BKPM
PLTS Terapung Cirata 145 MW terbesar di Asia Tenggara yang dibiayai melalui konsorsium sejumlah lembaga keuangan Tanah Air./BKPM

Bisnis.com, JAKARTA -  Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merevisi kembali aturan Taksonomi Hijau Indonesia (THI) dengan mempertimbangkan aspek sosial hingga perkembangan internasional. 

Revisi taksonomi hijau beriringan dengan meningkatnya polusi udara di sejumlah wilayah Indonesia. Termasuk terjadinya kebakaran hutan dan lahhan.

Taksonomi Hijau berfungsi memberikan pemahaman dan panduan bagi lembaga keuangan dalam mengklasifikasi aktivitas hijau dalam mengembangkan portofolio produk dan/atau jasa keuangan. Dengan kata lain, Taksonomi Hijau memudahkan perusahaan keuangan memastikan proyek yang dibiayai memberikan dampak baik terhadap lingkungan ataupun sebaliknya. 

Kebijakan baru akan taksonomi hijau ini juga sebagai tindak lanjut atas UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Kebijakan ini dapat membantu proses pemantauan berkala dalam implementasi penyaluran kredit/pembiayaan/investasi ke sektor hijau dan mencegah potensi pelaporan aktivitas hijau yang kurang tepat (greenwashing).

Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan bahwa penyesuaian dan pembaruan terhadap regulasi diperlukan mengingat adanya perkembangan cepat dalam pembiayaan berkelanjutan di tingkat global dan regional. 

"Kemarin kita juga lihat [taksonomi] Asean tengah melakukan updating dari sustain financial taxonomy untuk versi dua. Sehingga kami merasa melakukan penyesuaian," ujarnya saat ditemui dalam Konferensi Pers di Jakarta, Jumat (18/8/2023).

Adapun, Asean Taxonomy for Sustainable Finance versi 2 (ATSF v2) merupakan penyempurnaan versi 1 terdahulu yang telah terbit dari ASEAN Taxonomy Board (ATB) pada 10 November 2021 di sela-sela rangkaian COP26 yang diselenggarakan di Glasgow, Skotlandia.

Taksonomi Asean sendiri adalah panduan yang dirancang untuk memungkinkan transisi yang adil menuju adopsi keuangan berkelanjutan oleh negara anggota ASEAN. Panduan ini menyediakan keselarasan prinsip-prinsip dasar dan membantu menyelaraskan klasifikasi kegiatan dan aset berkelanjutan di seluruh Asean. 

Bahkan, Mahendra menyebut sebagai langkah lanjutan dari versi 1, pihaknya turut mempertimbangkan upaya pensiun dini dari PLTU batu bara yang kerangkanya disesuaikan kondisi, kebutuhan hingga aspek nasional Indonesia. 

Sejauh ini, dirinya masih enggan membocorkan revisi dari aturan THI ini, akan tetapi Mahendra mengisyaratkan bahwa rencana aturan baru ini akan mengambil panduan dari proses yang dilakukan di tingkat Asean, termasuk aturan yang lebih spesifik untuk sektor-sektor tertentu. 

"Saat ini, prosesnya masih berjalan dan akan melibatkan penyelarasan yang akan dilihat lebih lanjut," katanya. 

Mahendra pun belum bisa memastikan target penyelesaian revisi aturan. Pasalnya, Undang Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan Undang-Undang Pembiayaan Berkelanjutan (UU P2SK) mengamanatkan untuk melakukan pembentukan komite nasional untuk pembiayaan berkelanjutan di tingkat nasional. 

Dia menyebut penjadwalan revisi akan diusahakan selaras dengan jadwal komite tersebut, yang saat ini sedang dalam tahap finalisasi struktur dan keanggotaannya melalui Peraturan Pemerintah. 

"Jadi, kalau dari kerangka waktu, ya kami akan coba selaraskan dengan jadwal komite itu yg rumusan keanggotannya atau strukturnya sedang difinalisasi dalam Peraturan Pemerintah. Jadi OJK fokus di dua aspek pengorganisasian dan perangkat kerja, di lain pihak kami fokus untuk aspek substansi terkait OJK," sebutnya.

Mahendra pun mengonfirmasi soal isu yang beredar terkait bagaimana sektor perbankan enggan untuk memberikan pendanaan dalam hal pemadaman PLTU.

Baginya, meski ada harapan internasional untuk memprioritaskan pembiayaan transisi dari energi fosil ke energi terbarukan, pada kenyataannya, bank-bank global enggan memberikan dana kepada PLTU karena dianggap terkait dengan energi fosil, meskipun tujuannya sebenarnya adalah untuk transisi.

"Karena terus terang ada pertanyaan, di satu sisi dunia internasional itu berharap bahwa pembiayaan terhadap transisi energi dari berbasis fosil kepada yang terbarukan itu menjadi prioritas. Tapi, di lain pihak realitanya di tingkat global, bank-bank itu, internasional, global enggan untuk memberikan pendanaan kepada PLTU karena dianggap berbasis kepada fosil field, walaupun maksudnya kepada adalah untuk transisi," ujarnya.

Terjadi, inkonsistensi dalam kebijakan dan langkah-langkah yang diambil oleh bank-bank global dan internasional terkait pembiayaan transisi energi. Meskipun para regulator telah mengeluarkan langkah-langkah untuk percepatan pengakhiran PLTU berbasis fosil, belum ada perangkat taksonomi global yang sepenuhnya mendukung pendanaan untuk transisi tersebut.

Sebaliknya, kata Mahendra, Asean telah memberikan contoh kepemimpinan dengan menyatakan pendanaan untuk menghentikan PLTU berbasis fosil adalah tindakan yang ramah lingkungan. 

"Nah, artinya ada perubahan di situ [pendanaan] dan ada kepeloporan dari ASEAN ini juga harus kita tuangkan semangatnya, dan pemahaman tadi itu dalam taksonomi nasional. Sehingga tidak ada keraguan lagi mengenai hal itu. Ini memang hal yang diharapkan oleh negara-negara untuk bisa direalisasi dan direncanakan," jelasnya. 

Mahendra pun mengharapkan dengan adanya taksonomi Asean, bank-bank yang sebelumnya kurang tertarik untuk memberikan pendanaan, menjadi lebih berani karena mereka melihat peluang baru. 

Meski, dirinya membenarkan bahwa OJK telah menjalin kesepakatan dengan beberapa instansi keuangan konvensional, termasuk yang berskala internasional, untuk mendukung pendanaan transisi energi, akan tetapi  dalam hal detail bank-bank tersebut dirinya tak memberikan informasi konkret. 

"Dengan adanya Asean taksonomi itu, itu sudah bisa, yang tadinya [bank] kurang tertarik [mendanai] jadi lebih berani. Ya mereka menyampaikan minatnya. Tapi kalau di level business-to-business (B2B) saya tentu tidak masuk sejauh itu," tutupnya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Arlina Laras

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper