Direktur Utama Bank Mandiri Darmawan Junaidi mengatakan posisi tersebut jauh lebih baik jika dibandingkan periode Juni 2022 di level 2,47 persen atau telah turun sebesar 94 basis poin (bps).
“Dalam menjaga kualitas aset, Bank Mandiri juga telah membentuk pencadangan yang memadai. Sampai dengan kuartal II/2023 kami telah menyiapkan pencadangan yang cukup, dengan NPL Coverage ratio bank only mencapai 342,2 persen, meningkat dari posisi kuartal II tahun sebelumnya yang sebesar 274,5 persen,” tuturnya.
Pada kesempatan terpisah, Corporate Secretary PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Rudi As Aturridha menyampaikan salah pendorong dari total penyaluran kredit berasal dari segmen UMKM. Di mana, total kredit per Juni 2023 di segmen ini sebesar Rp119,7 triliun, tumbuh 8,1 persen yoy, dan dengan kualitas terjaga yakni NPL sebesar 1,5 persen.
“Meskipun kami masih melihat potensi peningkatan risiko baik dari luar maupun dalam negeri, pihaknya terus melakukan perbaikan kualitas kredit,” ujar Rudi pada Bisnis, Rabu (31/8/2023)
Upaya BTN Tekan NPL
Tak hanya itu, langkah bersih-bersih kredit macet juga dilakukan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BBTN) yang mencatat hunian gedung apartemen menjadi penyumbang utama kenaikan bermasalah perusahaan. Hal ini tercermin dari rasio kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) gross BBTN menebal 11 bps menjadi 3,66 persen pada Juni 2023.
Baca Juga
Dampaknya NPL nett bank juga naik 71 bps menjadi 1,75 persen per akhir Juni 2023. Direktur Utama Bank BTN Nixon LP Napitupulu menyebut, pihaknya menargetkan menurunkan rasio NPL ke level 3,4 persen hingga akhir tahun nanti.
“Itu [apartemen] yang kami bangun secara agresif pada 2014-2017 mengalami penjualan drop, dan demand drop [sehingga mendorong kredit bermasalah]. Jadi, kami ingin mendorong kembali kampanye pembelian unit hunian gedung-gedung apartemen sehingga kembali menggairahkan bisnis sektor ini,” sebutnya.
Lebih lanjut, dirinya menuturkan BTN juga teah mengantongi izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk melakukan penjualan sejumlah aset-aset kredit bermasalah (NPL)
"Pada umumnya yang kita jual adalah atau apartemen atau hotel yang sudah bermasalah. Kita harapkan terjadi dalam dua tahap ya. Pertama, penjualan aset NPL ini bisa terealisasi Rp1 triliun pada September. Lalu, di akhir tahun nanti Rp1 triliun lagi. Jadi, hasil penjualan NPL bisa keluar Rp2 triliun," katanya.
Selain mengandalkan penjualan aset bermasalah, BTN juga turut melakukan kesepakatan dengan IFG Life terkait pembayaran klaim-klaim tertunda sekitar Rp500 miliar yang ditargetkan selesai sebelum akhir tahun.
Tujuannya adalah agar keluarga dan ahli waris dapat dengan mudah menerima pelunasan kewajiban dari almarhum yang memiliki asuransi Jiwasraya.
"Kita mengharapkan adanya pembayaran dari yang sekarang lagi proses pembayaran dari ex Jiwasraya kurang lebih Rp500 miliar, sehingga keluarga ahli waris itu mudah-udahan sampai akhir tahun mendapatkan kepastian pelunasan kewajiban dari para almarum dan almarhumah yang asuransi nya ditutup pakai Jiwasraya. Ini lagi proses, mudah mudahan ini bisa kita selesaikan sebelum akhir tahun juga," tutupnya.
Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan menyebut tantangan yang masih dihadapi bank masih seputar tren kenaikan suku bunga, perlambatan daya beli masyarakat dan fluktuasi harga komoditas.
Lebih lanjut, dia mengidentifikasi sektor-sektor yang memiliki potensi meningkatkan risiko NPL. Mulai dari sektor konstruksi, kredit kepemilikan rumah (KPR) non-PNS, korporasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
“[Bank] perlu tindakan antisipasi, termasuk evaluasi berkala terhadap portofolio kredit untuk mengidentifikasi risiko potensial, serta pendekatan yang lebih selektif dalam menyalurkan kredit kepada peminjam,” tutupnya.