Bisnis.com, JAKARTA –– Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memperkirakan suku bunga the Fed, bank sentral Amerika Serikat, akan meningkat sebesar 25 basis poin pada November 2023.
Menurut Perry, kenaikan suku bunga pada November 2023 mendatang yang diperkirakan mencapai kisaran 5,50-5,75 persen akan menjadi kenaikan yang terakhir.
“Fed Funds Rate perkiraan kami akan naik sekali lagi di awal November, tapi probabilitasnya memang ini kemungkinan kenaikan yang terakhir,” katanya dalam konferensi pers, Kamis (21/9/2023).
Selanjutnya, suku bunga the Fed diperkirakan bertahan pada tingkat tersebut setidaknya hingga semester pertama 2024.
“Sehingga fenomena higher for longer akan berlanjut hingga 2024, khususnya pada semester pertama 2024,” jelas Perry.
Kondisi ini, imbuhnya, akan berdampak pada ketidakpastian pasar keuangan yang meningkat, sehingga tekanan aliran modal keluar dan pelemahan nilai tukar di negara berkembang semakin tinggi,
Baca Juga
BI mencatat, nilai tukar rupiah hingga 20 September 2023, secara point-to-point melemah sebesar 0,98 persen dibandingkan dengan level akhir Agustus 2023.
Sementara itu, secara year-to-date, nilai tukar rupiah masih menguat sebesar 1,22 persen dari level akhir Desember 2022.
BI pun menyampaikan bahwa terdapat ruang penurunan suku bunga acuan BI ke depan, mempertimbangkan perkembangan ekonomi domestik, terutama laju inflasi yang terkendali.
“Kalau hanya mempertimbangkan perkembangan domestik, inflasi yang rendah, ada ruang untuk melihat kembali kebijakan suku bunga BI, sekaligus untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,” katanya.
Adapun, tingkat inflasi domestik pada Agustus 2023 mencapai 3,27 persen secara tahunan, terjaga dalam sasaran 2-4 persen.
Inflasi inti juga tercatat sebesar 2,18 persen secara tahunan, lebih rendah dibandingkan dari posisi pada bulan sebelumnya sebesar 2,43 persen, sejalan dengan permintaan yang terkelola, ekspektasi inflasi yang terjaga, serta imported inflation yang rendah.
BI pun memperkirakan inflasi akan tetap terkendali dalam kisaran 2-4 persen pada sisa 2023 dan 1,5-3,5 persen pada 2024.
Namun demikian, Perry mengatakan bahwa yang menjadi pertimbangan adalah kondisi global yang masih sangat tidak menentu, terutama dengan situasi dolar Amerika Serikat yang semakin menguat.
“Itu yang kemudian kebijakan suku bunga dipertahankan, fokusnya menstabilkan nilai tukar rupiah,” jelasnya.