Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menyampaikan bahwa bunga yang dikenakan platform pinjaman online (pinjol) pernah menyentuh 0,8 persen per hari pada saat pertama kali industri ini muncul.
Namun, lambat laun, bunga yang dipatok 0,8 persen per hari itu berangsur turun menjadi maksimal 0,4 persen per hari. Bunga ini pun masuk ke dalam code of conduct AFPI.
“2 tahun lalu kami sudah mengganti [bunga] dan menetapkan bunga dari 0,8 persen per hari menjadi 0,4 persen per hari,” kata Ketua Umum AFPI periode 2023-2026 Entjik S. Djafar dalam konferensi pers AdaKami di Jakarta, Jumat (6/10/2023).
Tak berhenti di sana, Entjik mengklaim bahwa AFPI juga melakukan patroli untuk mengecek semua platform fintech P2P lending terkait bunga 0,4 persen per hari.
“Kenapa 0,4 persen per hari? Karena kita protect consumer. Consumer kita protect tidak boleh lebih dari itu. Makanya kita membuat aturan tidak boleh lebih dari 0,4 persen per hari,” jelasnya.
Baca Juga
Direktur Eksekutif AFPI Kuseryansyah mengatakan bahwa penyelenggara fintech P2P lending menjual bunga yang tinggi saat industri ini pertama kali muncul.
“Pertama kali industri fintech ini ada secara resmi POJK 77/2016 itu sebenarnya harga bunga itu bebas, siapapun boleh menjual bunga yang tinggi, berapapun bunganya asal ada pembelinya,” ungkap Kus.
Namun, Kus menyampaikan bahwa saat ditemukan di lapangan masyarakat mengeluhkan tingginya bunga pinjol.
“Di lapangan, kita banyak komplain ternyata bunganya tinggi sekali masyarakat banyak teriak dan juga ada fenomena fintech legal dan ilegal,” katanya.
Sebagai gambaran, dengan 0,8 per hari maka jika pekerja yang menggunakan dengan penghasilan bulanan, maka bunga yang dibayar setara dengan 24 persen per bulan. Bandingkan dengan bunga kartu kredit kala itu yang berkisar 2,2 persen hingga 4 persen.
Meski demikian, sambung Kus, fintech dalam pengawasan OJK mengambil inisiatif dengan menetapkan bunga maksimum 0,8 persen per hari. Pasalnya, kala itu, marak pinjol ilegal yang menjual bunga 1 persen—3 persen per hari kepada peminjam.
Kus menyebut inisiatif tersebut dilakukan dalam rangka melindungi agar pinjol ilegal memiliki besaran bunga yang sama dengan pinjol legal.
“Dari waktu ke waktu bunga 0,8 persen [per hari] ini di challenge terlalu tinggi, kemudian tahun lalu kita berinisiatif melakukan efisiensi dari 0,8 persen [per hari] turun menjadi 0,4 persen [per hari],” tambahnya.
Lebih lanjut, Kus mengatakan sejatinya, keberadaan fintech P2P lending diharapkan untuk membantu dan menjangkau masyarakat unbankable dan underserved yang tidak bisa dilayani perbankan, multifinance, maupun modal ventura.
Namun, segmen unbankable dan underserved ini memiliki risiko yang stabil karena belum ada profil risiko alias memiliki risiko yang tinggi. Untuk itu, lanjut Kus, pada praktiknya bunga fintech menyesuaikan dengan profil segmen dan risiko yang ada di lapangan.
“Filosofinya itu justru untuk melindungi konsumen, kita kompak untuk tidak menjalani praktik predatory lending,” pungkas Kus.
Kartel Bunga Pinjol
Kembali memanasnya persoalan bunga pinjol ini setelah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengendus dugaan kartel suku bunga pinjaman perusahaan keuangan online ini.
KPPU dalam keterangan resmi pada Rabu (4/10) malam, mengumumkan penyelidikan awal perkara inisiatif atas dugaan pengaturan atau penetapan suku bunga pinjaman kepada konsumen oleh Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).
Penyelidikan awal ini bermula dari penelitian KPPU atas pinjol berdasarkan informasi yang berkembang di masyarakat. Dari penelitian itu, KPPU menemukan bahwa terdapat pengaturan oleh AFPI kepada anggotanya terkait penetapan suku bunga flat 0,8 persen per hari dari jumlah pinjaman aktual penerima alias borrower.
Penetapan suku bunga itu diikuti oleh seluruh anggota AFPI yang berjumlah 89 tekfin lending.
KPPU menilai penentuan suku bunga pinjol oleh AFPI berpotensi melanggar UU No 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Lembaga pengawas usaha itu pun akan membentuk satuan tugas untuk menangani persoalan tersebut dan proses penyelidikan awal bakal dilaksanakan dalam waktu maksimal 14 hari sejak keputusan pembentukan satuan tugas.
“Bukti awal sudah ada. Nanti kami perkuat lagi buktinya di penyelidikan,” kata Kepala Biro Humas dan Kerja Sama KPPU Deswin Nur saat dihubungi Bisnis, Kamis (5/10).
KPPU tidak menutup kemungkinan untuk meminta informasi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tentang dugaan kartel tersebut.
AFPI memang menyepakati suku bunga pinjol untuk diterapkan anggotanya, yakni maksimum flat 0,4% per hari. Besaran suku bunga itu dituangkan dalam pedoman perilaku atau code of conduct asosiasi. Code of conduct itu juga mengatur denda keterlambatan pembayaran pinjaman dan tenor pinjaman. (Lihat infografik)
Direktur Eksekutif AFPI Kuseryansyah menampik bahwa kesepakatan asosiasi tentang suku bunga pinjol adalah tindakan kartel. Menurutnya, pengenaan bunga atau biaya praktik itu merupakan langkah AFPI melindungi konsumen.
“Kami enggak mau anggota kami menjalankan praktik biaya layanan atau bunga tinggi kepada borrower,” ujarnya kepada Bisnis.
OJK juga belum mendapatkan informasi langsung tentang penyelidikan awal dugaan kartel bunga oleh AFPI dari KPPU.
Namun, Kepala Departemen Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK Edi Setijawan mengatakan regulator tak segan mengambil sikap jika dugaan kartel terbukti.
OJK memang belum mengatur batasan bunga pinjol, tetapi menyerahkannya pada mekanisme pasar yang direpresentasikan melalui asosiasi. Regulator hanya mewanti-wanti agar penetapan batas manfaat ekonomi pinjol, termasuk bunga, harus dievaluasi terus-menerus.
Namun, jika bunga pinjol yang disepakati asosiasi justru menimbulkan masalah, OJK memiliki kewenangan untuk mengaturnya.
“Kami basic-nya tidak ingin mengatur, sama seperti bank. Tapi, kalau dianggap banyak memberatkan, banyak pengaduan, atau jadi price war, kami bisa mengintervensi,” kata Edi.
Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) Agusman pun menegaskan kembali bahwa OJK memang berencana mengatur bunga pinjol.
Peneliti dan pengamat memanggil 'campur tangan' OJK untuk menentukan suku bunga pinjol.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira melihat, jika pengaturan bunga oleh AFPI benar, maka konsumen dirugikan. Bunga pinjol yang seharusnya lebih kompetitif, terhambat oleh kesepakatan penetapan bunga tersebut.
“Bayangkan bunga 0,8 persen per hari dikalikan satu tahun. Itu setara 299 persen dan tidak wajar, bahkan dibanding pinjaman KTA [kredit tanpa agunan] bank dengan bunga berkisar 10 persen - 25 persen per tahun,” ujar Bhima.
Peneliti Center of Digital Economy and SME Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan keterlibatan OJK dibutuhkan.
“OJK mempunyai kewenangan untuk penetapan suku bunga harian agar tidak terkesan industri yang ‘menentukan’ suku bunga,” tuturnya.