Bisnis.com, JAKARTA –– Suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) atau BI rate telah mencapai tingkat tertinggi dalam 4,5 tahun terakhir. Sepanjang 2023, BI menaikkan suku bunga acuan sebanyak dua kali masing-masing sebesar 50 basis poin hingga ke level 6%.
BI menutup tahun 2023 dengan mempertahankan suku bunga acuan pada tingkat tersebut pada Rapat Dewan Gubernur BI per 20 dan 21 Desember 2023.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam konferensi pers hasil RDG Desember 2023 menyampaikan bahwa keputusan mempertahankan suku bunga acuan ini konsisten dengan fokus kebijakan moneter yang pro-stability.
BI memandang, kebijakan tersebut mendukung penguatan stabilisasi nilai tukar rupiah, juga merupakan langkah pre-emptive dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap terkendali dalam sasaran 1,5-3,% pada 2024.
Perry menyampaikan, dari sisi global, kejelasan arah kebijakan moneter di negara maju, khususnya the Fed, bank sentral Amerika Serikat (AS), telah mendorong redanya ketidakpastian pasar keuangan global.
Baca Juga
“Sehubungan dengan itu, aliran modal sejauh ini mulai kembali masuk dan menurunkan tekanan pelemahan nilai tukar di negara emerging market, termasuk Indonesia,” kata Perry.
Namun demikian, dia mengatakan bahwa sejumlah risiko masih dapat kembali meningkatkan ketidakpastian perekonomian dunia dan harus tetap diwaspadai, diantaranya masih berlanjutnya ketegangan geopolitik, pelemahan ekonomi di sejumlah negara termasuk China, juga masih tingginya suku bunga kebijakan moneter dan yield obligasi di negara maju.
Di dalam negeri, BI memandang bahwa perekonomian Indonesia tetap tumbuh baik, terutama didukung oleh konsumsi rumah tangga dan investasi tetap tumbuh sejalan dengan keyakinan masyarakat dan berlanjutnya penyelesaian Proyek Strategis Nasional (PSN).
Dengan kondisi ini, BI pun memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada dalam kisaran 4,5-5,3% pada akhir 2023.
Sejalan dengan itu, laju inflasi domestik tetap terkendali, tercermin dari tingkat inflasi pada November 2023 yang terjaga pada kisaran 2-4%, yaitu sebesar 2,86% secara tahunan.
Perry mengatakan, inflasi inti yang juga tetap rendah sebesar 1,87% secara tahunan, sejalan dengan konsistensi kebijakan suku bunga dan stabilisasi nilai tukar rupiah oleh BI. Oleh karenanya, tingkat inflasi pada akhir 2023 diperkirakan terjaga dalam kisaran 2-4%.
Sementara tu, BI mencatat penguatan nilai tukar rupiah terus berlanjut/ Per 20 Desember 2023, rupiah menguat secara rata-rata sebesar 0,44% dibandingkan dengan perkembangan pada November 2023. Dibandingkan dengan level akhir Desember 2022, nilai tukar Rupiah menguat 0,37%.
“Di samping kebijakan stabilisasi Bank Indonesia, berlanjutnya apresiasi nilai tukar Rupiah didorong oleh masuknya aliran portofolio asing, menariknya imbal hasil aset keuangan domestik, serta tetap positifnya prospek ekonomi,” kata Perry.
Buka Ruang Penurunan
BI memperkirakan suku bunga the Fed akan turun pada semester kedua 2024 sebesar 50 basis poin. Sementara pasar memperkirakan penurunan suku bunga the Fed kemungkinan dilakukan lebih awal, pada kuartal II/2024.
Selain itu, pasar juga melihat adanya kemungkinan FFR turun sebesar 75 basis poin tahun depan. Namun demikian, BI memandang, suku bunga the Fed akan tetap ditahan pada semester I/2024.
“Kami memperkirakan FFR [Fed Funds Rate] turunnya masih di semester II, total 50 basis poin. Dan tentu saja kita lihat bulan-bulan selanjutnya dan kami akan update perkembangan tersebut,” katanya.
BI pun, memberi sinyal penurunan suku bunga acuan atau BI rate akan dilakukan pada semester kedua 2024.
Perry menjelaskan, penurunan suku bunga the Fed yang diperkirakan terbuka pada semester kedua 2024 menjadi salah satu faktor pertimbangan BI dalam menetapkan arah suku bunga kebijakan, tapi bukan sebagai acuan utama.
Dalam hal ini, BI akan melihat perkembangan laju inflasi dan pergerakan nilai tukar rupiah, serta risiko dari ketidakpastian global.
“Kalau kami rencanakan di semester II, bukan mengikuti FFR [Fed Funds Rate], tapi perhitungan-perhitungan seperti itu,” tuturnya.
Dari sisi inflasi, BI berupaya agar sasaran target 1,5-3,5% tercapai pada 2024. Dengan nilai tukar rupiah yang terjaga, maka probabilitas pencapaian target inflasi akan semakin besar, terutama dengan imported inflation yang terkendali.
“Kalau rupiah lebih cepat menguat, inflasi lebih rendah, ya ada saja ruang-ruang terbuka. Tapi, tidak akan kemudian bisa dikatakan akan oke terburu-buru,” kata Perry.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyampaikan bahwa BI memperkirakan the Fed cenderung lebih hawkish daripada yang diperkirakan pasar.
Menurutnya, hal ini dikarenakan BI masih mempertimbangkan adanya risiko kenaikan dari indikator ekonomi AS, sehingga memproyeksikan ketidakpastian masih relatif tinggi pada 2024, terutama pada semester pertama.
Josua pun memperkirakan bahwa BI akan mempertahankan BI rate pada level 6% pada semester pertama karena adanya risiko yang berasal dari inflasi domestik dan penyempitan surplus neraca perdagangan.
Menurutnya inflasi domestik cenderung sedikit lebih tinggi pada semester pertama 2024 karena dampak El-Nino terhadap harga pangan.
Sementara itu, defisit transaksi berjalan cenderung melebar di tengah perlambatan ekonomi global, yang berdampak buruk pada kinerja ekspor Indonesia.
“Risiko ini diperkirakan akan mereda pada paruh kedua 2024, terutama setelah the Fed mulai memangkas suku bunga acuan,” katanya.
Josua memproyeksikan, BI akan memangkas suku bunga acuan sebesar 50 basis poin pada paruh kedua 2024.
Risiko Eksternal dan Momentum Krusial BI
Senada, Ekonom Bank Danamon Irman Faiz memperkirakan bahwa suku bunga the Fed telah mencapai puncaknya, meski Federal Reserve menyampaikan sikap yang tidak terlalu hawkish dalam kebijakan moneternya setelah pertemuan FOMC terakhir.
Oleh karenanya, Faiz memperkirakan bahwa suku bunga acuan BI juga telah mencapai puncaknya di tengah perkembangan inflasi yang stabil.
“Kami memperkirakan BI akan mempertahankan suku bunga kebijakan saat ini hingga The Fed mengalami pergeseran dalam sikap kebijakannya, yang kami perkirakan paling cepat terjadi pada paruh kedua 2024,” katanya.
Namun demikian, menurut Faiz, ruang BI untuk menurunkan suku bunga tahun depan mungkin tidak seluas the Fed. Hal ini mengingat proyeksi tren defisit transaksi berjalan yang melebar.
“BI akan secara bertahap menormalkan spread antara FFR [Fed Funds Rate] dan BI rate, mulai tahun 2024 dan seterusnya,” jelasnya.
Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky berpendapat, pemilihan waktu untuk menurunkan suku bunga menjadi krusial bagi BI.
Pasalnya, Riefky mengatakan, era higher for longer kemungkinan akan berlanjut meski the Fed mengindikasikan adanya potensi penurunan suku bunga acuannya tahun depan.
Di sisi lain, suku bunga acuan BI yang saat ini berada pada titik tertinggi dalam 4,5 tahun terakhir memang memberikan BI ruang yang cukup untuk menurunkan suku bunga pada 2024.
Meski demikian, Riefky menilai bahwa BI perlu tetap waspada, terutama terhadap langkah yang akan diambil The Fed tahun depan.
“Menurunkan tingkat suku bunga terlalu dini berpotensi memicu arus modal keluar dan mendorong pelemahan rupiah, sedangkan terlambat menurunkan suku bunga acuan dapat menekan daya beli masyarakat dan menghambat pertumbuhan sektor riil,” katanya.
BI juga, imbuhnya, perlu memperhatikan risiko dari sisi tekanan inflasi akibat periode Pemilu dan berlanjutnya El-Nino dan penurunan arus perdagangan seiring berlanjutnya pelemahan permintaan global dan potensi arus modal keluar akibat ketidakpastian ekonomi global dan tensi geopolitik.