Bisnis.com, NUSA DUA — Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan berpotensi mengalami defisit tahun berjalan akibat lonjakan inflasi medis dan utilisasi pada 2024.
Hal itu disampaikan Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti usai ditemui dalam The 17th ISSA International Conference on Information and Communication Technology In Social Security (ICT 2024) 6–8 Maret 2024 di Nusa Dua, Bali, Rabu (6/3/2024).
Namun, Ghufron menyampaikan bahwa kondisi defisit itu tidak terjadi pada aset yang dikelola BPJS Kesehatan.
“Tahun ini, kita bisa defisit untuk tahun berjalannya, tetapi BPJS-nya itu bukan defisit. Karena kita sudah punya uang, punya aset, aset neto, punya kelebihan,” kata Ghufron.
Dia menuturkan bahwa pada 2019–2020 silam, BPJS Kesehatan melakukan penyesuaian iuran. Bukan hanya itu, pada saat Covid-19, jumlah pengunjung yang mendatangi fasilitas kesehatan (faskes) turun, begitu pun dengan utilisasi dan klaim yang turun. Alhasil, aset neto BPJS Kesehatan bertambah.
“Jadi tambah-tambahan ini nanti aset netonya jadi tambah, tapi sekarang ini akhirnya terjadi inflasi,” imbuhnya.
Baca Juga
Terkait inflasi, Ghufron menjelaskan bahwa inflasi di kedokteran lebih tinggi dibandingkan inflasi umum. Hal ini mengingat bidang kedokteran yang terus melakukan inovasi dan perkembangan baru.
“Karena perkembangan itu kan membutuhkan biaya. Sehingga harganya juga naik, naik, naik, naik. Sehingga terjadi infasi [medis] juga,” ungkapnya.
Dari sana, Ghufron menjelaskan bahwa inflasi medis akan mempengaruhi kinerja BPJS Kesehatan.
“Jelas [inflasi medis] langsung tidak langsung berpengaruh. Artinya, nilai uang kita tahun kemarin kalau jumlahnya sama kan nilainya nggak sama,” ungkapnya.
Eks Wakil Menteri Kesehatan itu juga mengatakan bahwa BPJS Kesehatan telah membayar biaya tambahan senilai Rp45 triliun pada tahun lalu. Ini imbas dari inflasi, penyesuaian tarif, dan meningkatnya kepercayaan masyarakat.