Bisnis.com, JAKARTA – Bank indonesia (BI) akan mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada siang ini, Rabu (20/3/2024).
Konsensus ekonomi yang dihimpun Bloomberg memperkirakan suku bunga acuan atau BI Rate akan kembali dipertahankan pada level 6% pada RDG Maret ini.
Sebagaimana diketahui, BI sebelumnya telah mempertahankan suku bunga acuan selama 4 bulan sejak dinaikkan terakhir pada Oktober 2023 sebesar 25 basis poin.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan bahwa BI akan tetap mempertahankan tingkat suku bunga saat ini setidaknya pada semester pertama 2024.
Hal ini dikarenakan the Fed, bank sentral Amerika Serikat (AS), yang akan cenderung berhati-hati dalam memutuskan untuk menurunkan suku bunga pada 2024, juga adanya tekanan inflasi domestik akibat El Nino pada semester pertama 2024.
Joshua menjelaskan, pasar berekspektasi bahwa the Fed akan mempertahankan suku bunga acuan atau Fed Funds Rate (FFR) pada kisaran 5,25%-5,50%. Tapi, ada ketertarikan yang besar terhadap sinyal-sinyal dari the Fed terkait waktu dan laju penurunan FFR yang diperkirakan akan terjadi tahun ini.
Baca Juga
Di sisi lain, pelaku pasar juga menantikan proyeksi ekonomi terbaru untuk mengukur apakah kekhawatiran terkait kenaikan suku bunga masih ada.
Kenaikan inflasi di AS pada Februari 2024 mengindikasikan perlambatan dalam perkembangan menuju disinflasi di AS, sehingga mengurangi kemungkinan penurunan suku bunga kebijakan dalam waktu dekat.
“Perkembangan ini berdampak negatif pada pasar keuangan global, dengan meningkatnya sentimen risk-off yang menyebabkan pelemahan rupiah. Untuk menjaga stabilitas, kami memperkirakan BI akan mempertahankan BI-Rate di level 6,00% pada RDB bulan Maret 2024,” katanya kepada Bisnis, Selasa (19/3/2024).
BI dinilai perlu mengantisipasi dampak dari keputusan dan sinyal the Fed pada pertemuan FOMC 19-20 Maret 2024 tersebut.
Di sisi inflasi, Josua mengatakan bahwa terdapat peningkatan yang signifikan pada tingkat inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK). Tingkat inflasi secara tahunan pada Februari 2024, mencapai 2,75% dibandingkan dengan 2,57% pada Januari 2024. Kenaikan terutama didorong oleh pergerakan harga bahan makanan, terutama beras.
Selain itu, imbuhnya, surplus perdagangan pada Februari 2024 juga mengalami penurunan yang signifikan menjadi US$0,87 miliar dari US$2,00 miliar pada bulan sebelumnya.
“Kenaikan inflasi harga bergejolak dan penurunan surplus perdagangan membatasi potensi penurunan BI-Rate lebih awal,” katanya.
Sementara nilai tukar rupiah sepanjang bulan ini hingga minggu kedua Maret bergerak sideways, berfluktuasi pada kisaran Rp15.575 - 15.775 per dolar AS.
Joshua menambahkan, dengan mempertimbangkan perkembangan terkini dari sisi global dan domestik, ruang penurunan suku bunga BI-Rate pada semester kedua 2024 tetap terbuka.
“Kami mempertahankan proyeksi kami bahwa BI-Rate akan turun 50 basis poin menjadi 5,50% pada akhir 2024,” tuturnya.
Risiko Tertundanya Penurunan Suku Bunga
Pada kesempatan berbeda, Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky berpandangan bahwa BI perlu menahan suku bunga acuannya pada tingkat 6% pada RDG Maret ini.
Nilai tukar rupiah, kata dia, cenderung stabil dalam beberapa pekan terakhir setelah sempat terdepresiasi. Selain itu, inflasi domestik yang masih terjaga dalam rentang target BI.
“Kondisi inflasi dan nilai tukar saat ini dinilai membenarkan bahwa tidak ada keperluan mendesak untuk BI mengubah suku bunga acuannya,” kata dia.
Namun demikian, menurutnya kondisi suku bunga acuan di berbagai negara berkembang cukup tergantung dari pergerakan yang akan diambil oleh the Fed.
“Untuk menghindari risiko terjadinya arus modal keluar secara masif, bank sentral di negara berkembang kemungkinan tidak akan menurunkan suku bunga acuannya sebelum the Fed mengambil langkah tersebut. Indonesia juga tidak terkecuali,” jelas Riefky.
Dia menjelaskan, kenaikan inflasi yang tidak terduga di AS pada Februari 2024 telah mendorong munculnya sentimen bahwa the Fed harus menunda penurunan suku bunga acuan dari titik tertingginya dalam 23 tahun terakhir.
Sebelum rilis data inflasi terbaru, berbagai indikasi menunjukkan bahwa the Fed akan mulai menurunkan suku bunga acuannya pada Juni 2024.
Akan tetapi, naiknya inflasi meningkatkan kemungkinan bahwa waktu yang tepat untuk the Fed memangkas suku bunga acuannya tertunda hingga September tahun ini.
Senada, Chief Economist PT Bank Syariah Indonesia Tbk. (BRIS) Banjaran Surya Indrastomo menyampaikan bahwa suku bunga acuan diperkirakan tetap di level 6% pada Maret 2024 dikarenakan volatilitas global yang masih tinggi.
“BI Rate masih tetap, belum bergerak, diperkirakan pelonggaran baru dilakukan pada semester II/2024,” katanya.
Banjaran mengatakan, tingkat inflasi di dalam negeri masih cukup terkendali meski terjadi kenaikan pada komponen harga bergejolak (volatile food).
Pada Februari 2024, inflasi pada komponen inti tercatat rendah sebesar 1,68% secara tahunan, juga relatif stabil dari bulan sebelumnya.
Sementara itu, inflasi volatile food pada Februari 2024 tercatat sebesar 8,47% secara tahunan, naik dari 7,22% pada bulan sebelumnya.
“Inflasi volatile food seasonal, Insyaallah pada kuartal II/2024 akan terjaga,” jelas Banjaran.
Di sisi lain, Banjaran mengatakan bahwa nilai tukar rupiah masih cukup tertekan hingga pertengahan Maret ini dan memang masih memerlukan langkah stabilisasi dari BI.
Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah pada perdagangan Rabu (20/3) menguat 0,04% ke level Rp15.711 per dolar AS pada pukul 09.12 WIB.
Mayoritas mata uang lain di kawasan Asia tercatat melemah, misalnya yen Jepang turun 0,89%, dolar Singapura turun 0,26%, dolar Taiwan turun 0,34%, won Korea Selatan turun 0,46%, dan peso Filipina turun 0,66%.
Konsensus Ekonom
Economist |
Firm |
Estimate |
Irman Faiz |
PT Bank Danamon Indonesia Tbk |
6 |
Mika Martumpal |
Bank Cimb Niaga Tbk PT |
6 |
Emil Muhamad |
Bahana Tcw Investment Management |
6 |
Renno Prawira |
PT Ciptadana Sekuritas Asia |
6 |
Fakhrul Fulvian |
Trimegah Securities |
6 |
Helmy Kristanto |
Danareksa Securities PT/Jakarta |
6 |
Josua Pardede |
PT Bank Permata Tbk |
6 |
Suryaputra Wijaksana |
PT Bank Rakyat Indonesia Persero Tbk |
6 |
Luthfi Ridho |
PT. Indo Premier Sekuritas |
6 |
Bank Mandiri Persero Tbk PT |
6 |
|
Tamara Mast Henderson |
Bloomberg LP |
6 |
Juniman Juniman |
PT Bank Maybank Indonesia Tbk |
6 |
Fikri C Permana |
KB Valbury Sekuritas |
6 |
Satria Sambijantoro |
PT Bahana Sekuritas |
6 |
Bank Negara Indonesia Persero Tbk |
6 |
|
Rully Arya Wisnubroto |
Pt Mirae Asset Sekuritas Indonesia |
6 |
Aldian Taloputra |
Standard Chartered Bank |
6 |
Krystal Tan |
Australia & New Zealand Banking Grp. |
6 |
Yee Ping Lim |
Cimb Bank Berhad |
6 |
Helmi Arman |
Citigroup Securities Indonesia |
6 |
Euben Paracuelles |
Nomura Singapore Limited |
6 |
Morgan Stanley |
6 |
|
Brian Tan |
Barclays Bank PLC |
6 |
Goldman Sachs & Co LLC |
6 |
|
David E Sumual |
Bank Central Asia Tbk PT |
6 |
Miguel Chanco |
Pantheon Macroeconomics Ltd |
6 |
Mega Capital Sekuritas PT |
6 |
|
Societe Generale SA |
6 |
|
BNP Paribas SA |
6 |
|
Pranjul Bhandari |
HK and SH Banking Corp Ltd SP BR |
6 |
Gareth Leather |
Capital Economics Ltd |
6 |
Jeemin Bang |
Moodys Analytics Singapore Pte Ltd |
6 |
Kai Wei Ang |
Bank of America NA |
6 |
Sin Beng Ong |
JP Morgan Chase Bank NA |
6 |
Lavanya Venkateswaran |
Oversea-Chinese Banking Corp Limited |
6 |
Radhika Rao |
DBS Bank Ltd |
6 |
United Overseas Bank Ltd |
6 |