Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Juky Mariska

Wealth Management Head Bank OCBC NISP

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Menantikan Pemangkasan Suku Bunga

Pada April, Bank Indonesia (BI) secara mengejutkan menaikkan tingkat suku bunga acuan dari 6,00% ke 6,25%.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (tengah) didampingi Deputi Gubernur Senior Destry Damayanti (kanan) dan Deputi Gubernur Doni Primanto Joewono memberikan pemaparan dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur (RDG) di Jakarta, Rabu (22/5/2024). Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 21-22 Mei 2024 memutuskan menahan suku bunga acuan BI rate di level 6,25%. JIBI/Bisnis/Himawan L Nugraha
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (tengah) didampingi Deputi Gubernur Senior Destry Damayanti (kanan) dan Deputi Gubernur Doni Primanto Joewono memberikan pemaparan dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur (RDG) di Jakarta, Rabu (22/5/2024). Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 21-22 Mei 2024 memutuskan menahan suku bunga acuan BI rate di level 6,25%. JIBI/Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA - Berbeda dengan kinerja pada Maret, performa pasar saham global pada April memperlihatkan pelemahan, dengan Indeks Dow Jones, S&P 500, dan Nasdaq masing-masing turun 5,00%, 4,16%, dan 4,41%.

Selain kinerja saham sektor teknologi yang kurang baik, penurunan ini juga disebabkan oleh rilisan data inflasi AS pada Maret yang kembali meningkat dari 3,20% ke level 3,50% dan PCE price index AS yang kembali menunjukkan kenaikan dari level 2,50% ke 2,70%.

Rilisan data tersebut, tentunya membuat ekspektasi pelaku pasar terhadap pemangkasan suku bunga acuan Federal Reserve (the Fed) akan semakin mundur. Hal ini dipertegas dari sisi kebijakan moneter AS, dimana pada pertemuan FOMC pada tanggal 1 Mei 2024 ini, Federal Reserve kembali mempertahankan tingkat suku bunga acuan AS di 5,25-5,50% dengan agenda menurunkan neraca keuangan pada fase yang paling lambat untuk menopang sektor keuangan.

Berbeda dengan kinerja pada Maret, performa pasar saham global pada April memperlihatkan pelemahan, dengan Indeks Dow Jones, S&P 500, dan Nasdaq masing-masing turun 5,00%, 4,16%, dan 4,41%.

Selain itu, kinerja saham sektor teknologi yang kurang baik, penurunan ini juga disebabkan oleh rilisan data inflasi AS pada Maret yang kembali meningkat dari 3,20% ke level 3,50% dan PCE price index AS yang kembali menunjukkan kenaikan dari level 2,50% ke 2,70%.

Rilisan data tersebut, tentunya membuat ekspektasi pelaku pasar terhadap pemangkasan suku bunga acuan Federal Reserve (the Fed) akan semakin mundur. Hal ini dipertegas dari sisi kebijakan moneter AS, dimana pada pertemuan FOMC pada tanggal 1 Mei 2024 ini, Federal Reserve kembali mempertahankan tingkat suku bunga acuan AS di 5,25-5,50% dengan agenda menurunkan neraca keuangan pada fase yang paling lambat untuk menopang sektor keuangan.

Senada dengan pasar ekuitas AS, mayoritas indeks saham Eropa juga mengalami pelemahan. Sepanjang April indeks Europe Stoxx 600 melemah 1,52% dan Euro Stoxx 50 juga turun 3,19%.

Di kawasan Asia, mayoritas pergerakan saham melemah, terlihat dari kinerja MSCI Asia Pacific ex-Japan -1,48% sepanjang April.

Pada April, China kembali mempertahankan suku bunga pinjaman untuk tenor satu tahun di level 3,45% dan suku bunga pinjaman untuk tenor lima tahun di level 3,95%. Hal ini dilakukan oleh pemerintah China sebagai bentuk kebijakan akomodatif yang menunjang perekonomian.

Selain itu, Bank of Japan (BoJ) pada April memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan jangka pendek pada level positif 0-0,1%. Keputusan ini didasari pada rilisan data inflasi Jepang untuk periode Maret yang terlihat sudah menunjukan penurunan dari 2,8% ke 2,7%. Selain itu, BoJ tetap masih akan mempertahankan kebijakan yang akomodatif untuk menopang perekonomian dalam negeri.

Dari domestik pada April, Bank Indonesia (BI) secara mengejutkan menaikan tingkat suku bunga acuan dari 6,00% ke 6,25%. Langkah BI ini lebih bertujuan untuk menstabilkan nilai tukar rupiah yang mengalami depresiasi terhadap dolar AS.

Namun demikian, kondisi fundamental ekonomi RI terlihat masih solid, hal ini tercermin dari rilisan angka inflasi Indonesia untuk April yang masih terkendali di level 3%, sedangkan sebelumnya di level 3,05%. Angka pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk Q1-2024 mencapai 5,11% dari tahun ke tahun (y-o-y).

Sementara itu IHSG tercatat turun -0,75% sepanjang April. Secara sektoral IHSG ditutup bervariatif dengan sektor Energi memimpin penguatan terbesar 5,01% dan pelemahan terdalam dipimpin oleh sektor Transportasi & Logistik sebesar -9,48%, lebih disebabkan oleh faktor eksternal terkait konflik geopolitik global dan ketidakpastian pemangkasan suku bunga oleh the Fed.

Secara historis, pasar saham di bulan Mei seringkali dikaitkan dengan istilah ‘sell in may and go away’. Dalam kurun 10 tahun terakhir terdapat 7 kali IHSG mencatatkan kinerja negatif pada Mei, sehingga rata-rata kinerja bulanan berada di -0,15%.

Dengan masih tingginya ketidakpastian pasar tidak menutup kemungkinan dapat mendorong tekanan pada IHSG, namun pelemahan ini sebaiknya dinilai sebagai kesempatan untuk mengakumulasi saham di level yang lebih murah, mengingat valuasi PE Ratio saat ini berada cukup menarik di 12,7 kali, jauh di bawah rata-rata valuasi 5 tahun terakhir yang berada di kisaran 15-16 kali.

Pergerakan pasar obligasi pada April kembali tertekan, terlihat dari pergerakan imbal hasil pemerintah RI tenor 10 tahun yang mengalami kenaikan signifikan menjadi 7,27% yang mensinyalkan terjadinya penurunan harga.

Kenaikan imbal hasil ini juga diakibatkan oleh pelemahan mata uang rupiah. Tak hanya itu, kepemilikan investor asing atas surat utang pemerintah tercatat menurun sebanyak Rp20,84 triliun selama April menjadi Rp789,87 triliun.

Hal ini membuat BI pada pertemuan Rapat Dewan Gubernur (RDG) 24 April lalu menaikkan suku bunga acuan sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memastikan adanya perbedaan suku bunga yang lebih lebar dengan dolar AS, untuk memperkuat nilai tukar rupiah.

Rupiah bergerak melemah cukup signifikan sebesar -2,49% sepanjang April ke level Rp16.259 per dolar AS. Pelemahan ini disebabkan oleh penguatan dolar AS serta meningkatnya risiko geopolitik di Timur Tengah, terlihat dari indeks DXY yang kembali mengalami kenaikan 1,14% ke level 106.22 sepanjang April.

Selain itu, penguatan dolar AS terjadi seiring dengan pandangan ketua the Fed, Jerome Powell yang belum akan melakukan pemangkasan suku bunga acuan dan terbukti pada pertemuan FOMC tanggal 1 Mei 2024, suku bunga tetap berada pada kisaran level 5,25-5,50%. Dalam jangka menengah, kurs rupiah masih akan dipengaruhi oleh arah kebijakan Fed, Bank Indonesia, dan tingkat pertumbuhan ekonomi dalam negeri.

Selain menentukan strategi investasi, kita juga perlu mengeksekusi strategi tersebut. Berinvestasi saat ini dapat dilakukan di mana saja secara online.

Tentunya, investor juga perlu memilih bank dengan reputasi dan kredibilitas yang baik, yang juga diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pertimbangkan untuk berinvestasi melalui bank yang dapat menyediakan layanan investasi terintegrasi dengan transaksi keuangan harian untuk memudahkan transaksi pembelian investasi yang dipilih.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Juky Mariska
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper