Bisnis.com, JAKARTA — Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengalihkan dana simpanannya dari PT Bank Syariah Indonesia Tbk. (BRIS) ke bank syariah lain dinilai masih wajar. dan tak akan memberikan goncangan terhadap likuiditas bank syariah yang akrab disebut BSI itu.
Ekonom sekaligus Dewan Pakar Institute of Social Economic and Digital (ISED) Ryan Kiryanto melihat bahwa keputusan suatu organisasi menarik dana jumbonya dari suatu bank sebenarnya wajar sebagai bagian dari strategi pengelolaan dana.
"Terlebih, penarikan dari PP Muhammadiyah itu tidak semua dana-dananya dari berbagai bidang, kalau tidak salah. Tentu semua itu merupakan hak pemilik dana, disesuaikan dengan strateginya," jelasnya ketika dihubungi Bisnis, Jumat (7/6/2024).
Sekadar info, berdasarkan surat PP Muhammadiyah tertanggal 30 Mei 2024 yang beredar di kalangan media, dana yang ditarik dari BSI merupakan bentuk konsolidasi keuangan di lingkungan Amal Usaha Muhammadiyah.
Belum terdapat penjelasan pasti mengenai besaran dana yang dialihkan oleh PP Muhammadiyah dari BSI. Namun, diyakini dari beberapa sumber besaran itu tak mencapai kisaran Rp13 triliun.
Berdasarkan pemberitaan Bisnis sebelumnya, Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas menjelaskan bahwa secara umum penempatan dana organisasi sudah terlalu banyak berada di BSI, sehingga secara bisnis dapat menimbulkan risiko konsentrasi.
Baca Juga
Alhasil, PP Muhammadiyah memutuskan untuk membagi dana tersebut ke beberapa perbankan syariah lain di luar BSI, sekaligus dalam rangka meningkatkan kontribusi organisasi menciptakan iklim persaingan yang sehat di antara perbankan syariah di Indonesia.
Menanggapi hal itu, Ryan pun menekankan bahwa keputusan suatu organisasi melakukan diversifikasi pengelolaan dana demi strategi mitigasi risiko merupakan suatu keniscayaan.
"Secara umum memang sesuai prinsip jangan taruh telur dalam satu keranjang. Selain itu, secara pengelolaan dana pun, tujuan diversifikasi itu bertujuan untuk menjaring kemungkinan imbal hasil yang lebih baik," tambahnya.
Pria yang juga mantan bankir di salah satu bank Himbara ini pun menilai likuiditas BSI tak akan goyang apabila rasio pembiayaan terhadap simpanan alias FDR (financing/loan to deposit ratio) masih terjaga.
"Likuiditas tentu tidak masalah kalau setelah dana keluar itu rasio FDR masih kuat, di kisaran 60% sampai 70%, itu masih ample. Kalau sampai tembus lebih dari 90% itu baru harus dikompensasi dengan BSI harus membuat strategi segar untuk menjaring deposan baru," tambahnya.
Sebagai gambaran, berdasarkan laporan keuangan bulanan BSI per April 2024, aset emiten bank syariah yang lahir pada awal 2021 ini mencapai Rp350,67 triliun.
Total piutang pembiayaan skema syariah reguler mengambil porsi Rp148,56 triliun dari total aset, sementara pembiayaan bagi hasil mencapai Rp99,55 triliun, dan pembiayaan sewa sebesar Rp2,86 triliun.
Adapun, dari sisi liabilitas, total dana simpanan wadiah BSI mencapai Rp70,14 triliun, sementara total dana investasi non-profit sharing mencapai Rp223,10 triliun.
Senada, Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin melihat aset BSI terbilang jumbo dan telah mampu mengantisipasi pergerakan likuiditas bernilai triliunan, walaupun dalam semalam.
"Kalau bank syariah menengah, kehilangan simpanan DPK [dana pihak ketiga] triliunan mungkin bisa bikin batuk-batuk. Tapi kalau BSI saya rasa masih aman," jelas Amin kepada Bisnis.
Namun, Amin mengingatkan bahwa fenomena penarikan dana jumbo ini juga harus menjadi pelajaran bagi BSI dan bank syariah lain, dalam rangka menjaga relasi dengan institusi pemilik dana jumbo.
"Biasanya mitra institusi seperti organisasi atau korporasi itu diberikan special rate, imbal hasil menarik. Kemudian, layanan harus prima dengan kecepatan dan digitalisasi, serta harus bisa mempertahankan relasi baik yang produktif, supaya mitra institusi itu mau long-lasting dalam menempatkan dana," tambahnya.