Bisnis.com, JAKARTA -- Para pemegang saham sukarela PT Bima Multi Finance memutuskan untuk menutup perusahaan leasing yang telah beroperasi sejak 2006. Keputusan ini diambil dalam rapat pemegang saham sukarela pada akhir Juni lalu.
Mengacu laporan perusahaan tahun 2022, terdapat tiga grup utama yang menjadi pemegang saham sukarela Bima Finance setelah homologasi PKPU utang pada 2017.
Ketiga pemegang saham tersebut adalah Sinarmas Group (40,07%), Victoria Group (39,97%), dan Sampoerna Group (16,29%). Dengan kata lain, tiga konglomerasi ini memiliki 96,33% saham Bima Finance yang didapatkan melalui konversi utang berdasarkan putusan PKPU 2017.
Secara lebih terperinci, pemegang saham Bima Finance dari Grup Sinarmas adalah PT Sinar Mas Multiartha Tbk. (23,10%), PT Asuransi Sinar Mas (15,96%), dan PT Asuransi Simas Insurtech (1,01%).
Selanjutnya, Grup Victoria terdiri dari PT Bank Victoria International Tbk. (34,91%), PT Victoria Insurance Tbk. (2,63%), PT Victoria Sekuritas Indonesia (2,03%), dan PT Victoria Alife Indonesia (0,40%). Sedangkan Grup Sampoerna terdiri dari PT Buana Anggana Mandura (15,89%) dan PT Bank Sahabat Sampoerna (0,41%).
Baca Juga
Sisa saham Bima Finance setelah konversi dimiliki oleh PT Asuransi Maximus Graha Persada Tbk. (1,01%), Erly Syahada (1%), Sukran Abdul Gani (1%), dan PT MNC Asuransi Indonesia (0,65%).
Felix, Direktur Sinar Mas Multiartha (SMMA), menjelaskan bahwa langkah penutupan perusahaan leasing ini disebabkan oleh sejumlah kreditur yang belum dapat memberikan keringanan pembayaran utang. Pada saat yang sama, Bima Finance diminta untuk memenuhi ketentuan ekuitas minimal Rp100 miliar.
"Para pemegang saham sukarela atau pemegang saham yang melakukan konversi utang menjadi modal dalam rangka penyelamatan sepakat untuk tidak menambah modal kepada Bima. Jadi solusi terbaik menurut para pemegang saham sukarela adalah melakukan pembubaran Bima," kata Felix kepada Bisnis, Kamis (11/7/2024).
Dia menyatakan bahwa pembubaran Bima Finance telah diketahui dan disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dalam pengumuman yang dirilis perusahaan, keputusan pembubaran disampaikan dalam RUPS luar biasa pada 28 Juni 2024. Pemegang saham kemudian meminta kreditur mengajukan tagihan maupun penyelesaian hak dan kewajiban dalam 60 hari ke depan. Pemegang saham menunjuk Soni Sanjaya dan Eko Sulistiyanto EB sebagai likuidator perseroan.
Tidak dilampirkan kondisi terbaru di website perusahaan, namun mengacu laman Bima Finance per akhir 2022, perusahaan leasing ini memiliki ekuitas -Rp149,29 miliar. Entitas ini membukukan laba Rp21,3 miliar pada akhir 2022.
Dari sisi aset, tercatat mencapai Rp246,82 miliar dan liabilitas Rp396,11 miliar.
Sejarah Bima Finance Sebelum Tutup
Bima Finance sendiri dalam direktori OJK tercatat empat kali berganti nama. Perusahaan ini mula-mula didirikan dengan nama PT Lautan Berlian Pacific Finance (1990 – 1995), kemudian berganti nama menjadi PT Lautan Berlian Multifinance (1995 – 2006), PT Prima Finance Indonesia (2006), dan PT Bima Multi Finance (2006 – 2024).
Dalam perubahan nama terakhir, pemegang saham perusahaan adalah PT Cipta Citra Irama (99%) dan Eddy Edgar Hartono (1%). Laporan tahunan 2014 mencatat manajemen kunci PT Cipta Citra Irama adalah Erly Syahada.
Erly sendiri adalah sosok yang malang melintang di industri keuangan. Nama Erly sebelumnya tercatat di PT Bank Dharmala sebelum ditutup pada 13 Maret 1999. Saat itu, Dewan Komisaris terdiri dari Suyanto Gondokusumo, Tjan Soen Eng, Hartawan Sunosubroto, dan Slamet Santoso Gondokusumo. Sementara direksinya terdiri dari Suhanda Wiraatmaja, Jenny Wirdjadinata, Harjono Darto To, Erly Syahada, dan Kinardi Rusli.
Kembali ke Bima Finance, perusahaan mengalami pertumbuhan pesat dengan 10 karyawan pada tahun 2006 saat pendirian menjadi 3.374 pada tahun 2014. Namun jumlah itu terus menurun menjadi 3.212 pada tahun 2016 dan menjadi 2.439 pada tahun 2017 saat perusahaan gagal membayar utang Obligasi Berkelanjutan I tahap II/2016 seri B dan C yang jatuh tempo pada 11 Agustus 2017.
Pemegang saham pengendali mengambil jalan dengan mengajukan PKPU ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 19 Mei 2017. Pengajuan perlindungan hukum karena tidak mampu membayar utang itu disetujui oleh pengadilan dan disahkan pada 4 Agustus 2017.
Ringkasannya, utang tranche A atau Pinjaman Jangka Panjang (PJP) sebesar Rp640.944.697.537 dibayarkan melalui cicilan per bulan dalam jangka waktu 10 tahun sejak tanggal efektif dan dikenakan bunga sebesar 10% per tahun.
Tranche B sebesar Rp178.099.357.781 akan dikonversi menjadi utang dengan jangka waktu 5 tahun sejak tanggal efektif (bullet payment) dan dikenakan bunga sebesar 5% per tahun.
Selanjutnya, tranche C sebesar Rp201.900.642.219 akan dikonversi menjadi MTN Konversi dan dikenakan bunga sebesar 5% per tahun. MTN Konversi dapat dikonversi menjadi 403.801 lembar saham dengan nilai nominal sebesar Rp500.000/lembar, yang dilaksanakan efektif setelah tahun ke-5 (lima) setelah konversi ini diterbitkan.
MTN Konversi dijamin dengan gadai saham atas seluruh saham perusahaan yang dimiliki oleh PT Citra Cipta Internasional dan Eddy Edgar Hartono sebesar 220.000.000 lembar saham.
Tranche D atau utang Supplier sebesar Rp1.843.108.749 dibayarkan sesuai dengan jadwal dalam 1 tahun terhitung sejak tanggal efektif. Kredit Kepemilikan Kendaraan Bermotor Karyawan kepada BCA Finance dan Bank Jasa Jakarta sebesar Rp5.432.859.477 akan dibayarkan sesuai dengan jadwal terhitung sejak tanggal efektif.
Berikut adalah kreditur dan pemasok yang terikat dengan Proposal Perdamaian yang telah disahkan pada tanggal 26 Juli 2017:
Kreditur Saparatis:
- PT Bank Tabungan Negara (Persero), Tbk (Wali amanat obligasi) sebesar Rp221.183.618.056
- PT Bank Pembangunan Daerah Kalimantan Selatan sebesar Rp122.972.222.200
- PT Bank Victoria International, Tbk sebesar Rp109.585.582.799
- PT Buana Anggana Mandura sebesar Rp80.000.000.000
- PT Bank Rakyat Indonesia Agroniaga, Tbk sebesar Rp66.692.578.206
- PT Bank Mandiri (Persero), Tbk sebesar Rp44.990.663.728
- PT Bank Woori Saudara Indonesia 1906, Tbk sebesar Rp40.964.789.578
- PT Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk sebesar Rp33.842.246.668
- PT Bank ICBC Indonesia sebesar Rp28.723.078.406
- PT Bank KEB Hana Indonesia sebesar Rp22.630.821.760
- PT Bank INA Perdana, Tbk sebesar Rp21.094.725.377
- PT Bank Harda Internasional, Tbk sebesar Rp20.341.125.574
- PT Bank Resona Perdania sebesar Rp20.049.124.963
- PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten, Tbk sebesar Rp19.853.201.528
- PT Maybank Indonesia, Tbk sebesar Rp16.234.315.700
- PT State Bank of India Indonesia sebesar Rp14.389.533.103
- PT Bank Jago, Tbk (PT Bank Artos Indonesia, Tbk) sebesar Rp10.911.550.143
- PT Bank Mega, Tbk sebesar Rp3.802.416.401
- PT Bank Central Asia Finance sebesar Rp2.954.023.700
- PT Bank Ganesha, Tbk sebesar Rp2.068.621.320
- PT Bank Sahabat Sampoerna sebesar Rp2.055.800.304
- PT Bank Syariah Mandiri sebesar Rp1.286.530.059
- PT Bank Negara Indonesia Syariah sebesar Rp1.064.787.022
- PT Bank Central Asia Syariah sebesar Rp612.776.448
- PT IBK Indonesia, Tbk (PT Bank Agris, Tbk) sebesar Rp363.359.027
Jumlah sebesar Rp908.667.492.070
Kreditor Konkuren
- PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (Wali amanat obligasi) sebesar Rp115.231.229.167
- PT Bank Jasa Jakarta sebesar Rp2.478.835.777
- PT Asuransi Kresna Mitra, Tbk sebesar Rp497.443.404
- PT Telekomunikasi Indonesia sebesar Rp333.069.355
- CV Kharisma Utama sebesar Rp301.831.000
- PT Trust Investama sebesar Rp294.602.000
- PT Graha Bakti Tehnologi sebesar Rp288.970.000
- PT Bank Tabungan Negara (Persero), Tbk sebesar Rp75.000.000
- PT Asuransi Cakrawala Proteksi Indonesia sebesar Rp29.584.691
- PT Cahaya Multitran Abadi sebesar Rp22.608.300
Jumlah sebesar Rp119.553.173.694