Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Fikri C. Permana

Ekonom KB Valbury Sekuritas

Lihat artikel saya lainnya

OPINI: Alasan BI Rate Mesti Turun

Tingkat inflasi, target utama BI dalam konteks ITF yang pada Agustus 2024 kembali mencatatkan deflasi bulanan ke-empat secara berturut-turut.
Karyawan berada di dekat logo Bank Indonesia di Jakarta. Bisnis/Arief Hermawan P
Karyawan berada di dekat logo Bank Indonesia di Jakarta. Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA -Dalam beberapa pekan terakhir, perhatian para pelaku pasar dan pengambil kebijakan global tertuju pada kemungkinan dan seberapa besar penurunan suku bunga (Fed Rate) yang akan ditempuh oleh The Fed pada FOMC (Federal Open Market Committee) pekan depan, 18 September 2024.

Hal ini makin menguat seiring dengan kebijakan dovish yang sebelumnya telah ditempuh oleh bank sentral negara maju lainnya.

Sebut saja misalnya Bank of Canada yang telah menurunkan suku bunganya sebanyak 3 kali, masing-masingnya sebe-sar 25 bps (basis points), sejak 5 Juni 2024.

Begitupun dengan European Central Bank yang telah me nurunkan ECB Rate sebesar 25 bps di 6 Juni 2024. Seterusnya juga diikuti oleh People Bank of China yang menurunkan loan prime rate 1 tahun mereka sebesar 10 bps di tanggal 22 Juli 2024.

Ataupun Bank of England yang telah mendahului The Fed, dengan menurunkan BoE Rate sebesar 25 bps pada 31 Juli.Bagi Indonesia sendiri, ekspektasi penurunan The Fed pun telah membuka ruang diskusi terkait apakah Bank Indonesia (BI) juga akan turut melakukan penyesuaian BI Rate atau malah masih akan tetap mempertahankan di level yang sama, layaknya yang telah ditetapkan sejak 24 April 2024.Berbagai indikator utama dalam negeri telah membu-ka ruang untuk penurunan tersebut.

Lihat saja misalnya tingkat inflasi, yang menjadi target utama BI dalam konteks ITF (inflation targeting framework) yang pada Agustus 2024 kembali mencatatkan deflasi bulanan ke-empat secara berturut-turut.

Yakni dengan deflasi sebesar 0,03% MtM (month-to-mon-th) atau dengan tingkat infla-si tahunan yang berada di 2,12% YoY (year-on-year). Di mana nilai tersebut berada di bawah target tengah inflasi BI di angka 2,5% YoY.Di satu sisi, deflasi ataupun penurunan harga tersebut telah mendorong peningkatan daya beli petani, yang diindikasikan oleh NTP (Nilai Tukar Petani).

NTP tumbuh 7,15% YoY di Agustus 2024. Lebih lanjut, hal tersebut didorong oleh kenaikan indeks harga yang diterima oleh petani ataupun daya tukar dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi oleh petani, dengan tumbuh sebesar 10,48% YoY di perio-de yang sama.

Sementara itu, kenaikan indeks yang dibayar petani, yang juga mengindika-sikan biaya produksi petani, tumbuh lebih rendah yakni hanya sebesar 3,11% YoY, seiring dengan penurunan sebesar 0,12% MtM di bulan Agustus 2024.Sayangnya, di sisi lain, deflasi yang terjadi dalam empat bulan terakhir juga memberikan kekhawatiran adanya indi-kasi penurunan daya beli di masyarakat.

Terlebih beberapa leading indicator yang biasanya juga menjadi indikator sisi konsumsi masyarakat juga mengalami perlambatan. Sebut saja misalnya jumlah penjual-an sepeda motor yang hanya tumbuh 7,4% di Agustus 2024, turun dari peningkatan 26,0% di bulan sebelumnya.

Seiring dengan penurunan penjualan bulanan sepeda motor sebesar 4,2% MtM di bulan yang sama. Atau yang lebih menyedihkan adalah jumlah penjualan mobil yang terkontraksi lebih dalam, dari -7,9% YoY di Juli 2024 menjadi -14,2% YoY di bulan Agustus 2024.

Kekhawatiran tersebut juga cukup beralasan karena dikonfirmasi oleh leading indicator sisi produksi yang juga mengalami penurunan. Sebut saja misalnya data PMI Manufacturing Indonesia di Agustus 2024 yang untuk kedua kalinya kembali bera-da di zona kontraksi, setelah terakhir kali Indonesia terjebak di zona yang sama pada Agustus 2021.

Dengan catatan, penurunan terbesar bera-sal dari penurunan produksi dan pemesanan baru (new orders), walaupun di saat yang sama kenaikan biaya input mencapai level teren-dah sejak Oktober 2023. Di sisi lain, pada 28 Agustus 2024, BPS di depan rapat bersama dengan Komisi XI DPR juga mengatakan bahwa kelas menengah Indonesia kian berkurang.

Yakni dari 57,33 juta orang atau setara dengan 21,45% dari total pen-duduk di 2019 ke hanya 47,85 juta orang atau mengecil ke 17,13% dari total penduduk di tahun 2024.

Karenanya, harapan penurunan BI Rate tentunya diharapkan dapat mengurangi beban biaya dana, khususnya rupiah, yang menurut OJK (Otoritas Jasa Keuangan) di Juni 2024 masih berada di angka rata-rata 8,82% untuk Kredit Modal Kerja, 8,86% untuk Kredit Investasi, dan 10,12% untuk Kredit Konsumsi.

Selain itu, sesuai dengan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian pada 23 Mei 2024 lalu, di mana masih adanya 23,7% masyarakat usia dewasa Indonesia yang belum memiliki rekening bank di lembaga keuangan, tentunya penurunan BI Rate juga diharapkan akan juga dibantu oleh inklusi dan akses dan informasi sektor keuangan yang lebih baik nantinya ke depan.

Karena saat ini, masih sangat mudah ditemui berbagai lembaga keuangan, yang terkadang berkedok koperasi, jasa gadai, fintech, atau lain-nya yang memberikan bunga mencekik.

Indikator lain yang juga diperlukan dalam melihat perkembangan BI Rate jelang Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI berikutnya tentu-nya adalah rupiah. Di satu sisi, bila BI menurunkan BI Rate lebih duluan diban-dingkan The Fed, akan ada kekhawatiran rupiah yang terdepresiasi, dan sebaliknya.

Menariknya, jadwal RDG BI dan FOMC Meeting kali ini hanya berbeda beberapa jam, dengan RDG BI akan dilang-sungkan terlebih dahulu. Sehingga jika nanti BI Rate turun, dengan harapan The Fed juga turun, mungkin untuk menjaga rupiah tetap stabil, penurunan BI Rate akan lebih konservatif, sebut saja misalnya hanya 25 bps.

Di samping itu, penurunan BI Rate konservatif, yang jika memang nanti ditempuh oleh BI, diharapkan akan tetap menjaga yield spread, khusus-nya antara SUN (Surat Utang Negara) dan US Treasury, tetap terjaga di level yang menarik.

Sehingga harapan capital inflow tetap terbuka. Di samping itu, hal ini diharapkan dapat memberikan faktor penyeimbang bagi penurunan trade surplus yang terjadi di tahun ini, seterusnya dapat menurunkan defisit transaksi berjalan ataupun neraca pembayaran, yang sering kali menjadi sumber tekanan bagi stabilitas rupiah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper