Bisnis.com, JAKARTA--Presiden Joko Widodo (Jokowi), di ujung masa jabatannya memberikan kebijakan pro pekerja dengan wacana menaikkan manfaat tunjangan pengangguran alias Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) BPJS Ketenagakerjaan.
Rencananya, manfaat program JKP akan dibayarkan 45% dari upah terakhir dengan batas Rp5 juta dalam 6 bulan. Saat ini, manfaat JKP dibayar 45% untuk 3 bulan dan 25% untuk 3 bulan berikutnya.
Tidak cuma itu, pemerintah akan memperluas kriteria penerima manfaat JKP yang juga diberikan kepada pekerja Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), hingga menambah alokasi biaya pelatihan penerima manfaat menjadi Rp2,4 juta dari sebelumnya Rp1 juta.
"Itu kebijakan yang bagus meski terlambat. Sebab, meski masih sangat minim JKP itu sangat berarti bagi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), apalagi kalau dinaikkan," kata Pengamat Ketenagakerjaan Universitas Airlangga, Hadi Subhan kepada Bisnis, Rabu (18/9/2024).
Hadi menilai semestinya Jokowi membuat kebijakan tersebut ketika tren PHK melonjak, setidaknya sejak 2022 silam ketika industri tekstil banyak memakan korban.
Berdasarkan catatan Bisnis, jumlah pekerja di sektor industri tekstil khususnya garmen yang terdampak PHK pada periode Oktober-November 2022 mencapai 15.316 orang. Sementara, data Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mencatat total tenaga kerja pabrik garmen yang dirumahkan sampai awal November 2022 mencapai 79.316 orang dari 111 perusahaan.
Baca Juga
Tren itu berlanjut sampa semester I/2024. Berdasarkan data yang dihimpun Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) hingga Juni 2024, tercatat sekitar 13.800 buruh tekstil terkena PHK dengan alasan efisiensi hingga penutupan pabrik. Sebanyak 10 pabrik melakukan pengurangan karyawan.
Sementara untuk PHK secara keseluruhan industri, data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat jumlah PHK pada bulan Juli 2024 mencapai 42.863, melesat 1.186% dibanding jumlah PHK pada Januari 2024 sebesar 3.332. Secara akumulasi, pekerja terdampak PHK sepanjang Januari hingga Juli 2024 sebanyak 144.399 pekerja.
Meski menyebutnya kebijakan telat, Hadi menilai kebijakan Jokowi ini tepat. Apalagi kalau dilihat dari komponen iuran program JKP yang diambil dari rekomposisi iuran program BPJS yang lain. Adapun Iuran JKP berdasarkan PP 37/2021 adalah sebesar 0,46% dari total upah pekerja sebulan. Dari angka tersebut, 0,22% dibayarkan oleh pemerintah. Sisanya, 0,14% dari rekomposisi iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan 0,10% rekomposisi iuran program Jaminan Kematian (JKM).
"Jadi kalau kemudian dapat [manfaat JKP], maka itu seperti dapat hadiah di tengah kebutuhan yang sangat [besar] akibat PHK," kata Hadi.
Dia menambahkan, saat ini yang perlu dipastikan pemerintah saat ada wacana kenaikan manfaat tersebut adalah memastikan ketahanan dana JKP BPJS Ketenagakerjaan tetap sehat.
"Yang perlu dilihat oleh pemerintah adalah tata kelola BPJS ketenagakerjaan. Dengan tata kelola yang sehat, maka tentu hasil yang dikucurkan ke pekerja akan semakin baik," kata Hadi.