Bisnis.com, JAKARTA - Sebanyak 22 penyelengara P2P lending tercatat memiliki kredit macet (TWP90) di atas 5%. Jumlah perusahaan finteh dengan kredit macet ini setara dengan 22,68% dari pelaku usaha pinjaman online (pinjol) yang saat ini mencapai 97 perusaaan.
Besarnya jumlah pinjol yang memiliki kredit macet tinggi ini disampaikan oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam paparan kinerja industri belum lama ini (1/11/2024). Meski demikian, OJK menggaris bawahi secara total, nilai kredit macet ini setara dengan 2,38% total pinjaman yang disalurkan. Dengan kata lain, pinjol yang ukurannya relatif kecil menjadi penyumbang kredit macet terbesar.
Ekonom dan Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda menilai ada dua hal yang mempengaruhi masih banyaknya penyelenggara yang berkutat pada masalah kredit macet.
“Pertama adalah credit scoring yang digunakan belum mampu menunjukkan kemampuan bayar yang sebenarnya dari calon borrower,” kata Huda kepada Bisnis pada Rabu (6/11/2024).
Selama ini, Huda bilang, di sektor produktif pun penghitungan credit scoring masih menggunakan data alternatif. Oleh sebab itu, diharapkan integrasi dengan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK oleh pemain fintech P2P lending dapat segera dilakukan. Hal tersebut sebagai strategi untuk penyaring debitur yang buruk.
Baca Juga
Kedua, Huda menyebut, ketiadaan opsi asuransi kredit sektor produktif juga menjadi penyebab. Padahal, saat ini sebagian besar debitur adalah pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) karena plafon yang ditawarkan maksimal Rp2 miliar.
“Harusnya ada opsi asuransi kredit dan dijadikan sebagai salah satu value dalam credit scoring serta ditampilkan di halaman borrower sehingga lender bisa mengetahui apakah calon borrowernya mempunyai asuransi atau tidak,” katanya.
Terakhir Huda melihat bahwa sektor produktif memiliki risiko kredit macet lebih tinggi. Dia mencatat data kredit macet untuk badan usaha juga mengalami peningkatan dan secara agregat lebih dari 5%. Sedangkan untuk kredit macet perorangan mencapai 2%.
“Artinya untuk sektor produktif mempunyai risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan sektor konsumtif. Hal ini yang menyebabkan platform P2P Lending lebih memilih menyalurkan ke sektor konsumtif, selain pangsa pasarnya juga lebih besar sektor konsumtif,” katanya.
Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan TWP90 secara keseluruhan industri per September 2024 memang masih terjaga di 2,38%. Namun, bila dibedah akan terlihat penyelenggara P2P lending yang kredit macetnya sudah mendekati 5%, bahkan jebol di atas 5%.
"Kalau tinggi yang terjadi akan seperti Investree, kemudian perusahaan P2P tersebut collapse karena dia kan harus mengembalikan juga ke pihak ketiga atau pada para investornya," kata Heru kepada Bisnis.
Eks Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia tersebut mengatakan solusi dari kondisi banyaknya P2P dengan kredit macet tinggi ini adalah perbaikan sistem seleksi dan kurasi calon peminjam.
"Karena kalau selama ini kan semua boleh pinjam cukup dengan KTP, dapat duit. Padahal tidak semua memiliki kemampuan membayar," kata Heru.
Kedua, menurutnya penting bagi industri P2P lending untuk memprioritaskan pinjaman ke sektor produktif. Itu pun, kata dia, seleksi yang dilakukan juga harus ketat untuk memastikan kemampuan pengembalian pinjaman.
Ketiga, Heru menilai harus ada penyesuaian batas manfaat ekonomi atau bunga pinjaman dari P2P lending. Saat ini, bunga pinjaman untuk sektor produktif dipatok 0,1% per hari kalender. Sedangkan bunga pinjaman sektor konsumtif 0,3% per hari kalender.
"Kalau bunganya masih besar seperti sekarang ya potensi tingkat pengembalian gagal juga tinggi," kata Heru.
Sebagai informasi, kredit macet atau TWP90 Investree terus melonjak sejak kasusnya mencuat pada akhir 2013. TWP90 Investree per 17 Januari 2024 silam tercatat sebesar 12,58% dan semakin membengkak di posisi 16,44%, sebelum kemudian izin usahanya dicabut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 21 Oktober 2024.