Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatatkan pertumbuhan signifikan pada industri financial technology (fintech) peer to peer (P2P) lending.
Outstanding pembiayaan fintech P2P lending per Februari 2025 tercatat sebesar Rp80,07 triliun, atau tumbuh 31,06% secara tahunan (year on year/YoY).
Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan (LJK) Lainnya OJK, Agusman, menyampaikan bahwa pertumbuhan ini melanjutkan tren positif dari bulan sebelumnya.
“Pada industri fintech peer to peer lending, outstanding pembiayaan di Februari 2025 tumbuh sebesar 31,06% year on year. Di Januari yang lalu, tercatat 29,94% year on year. Dengan nominal sebesar 80,07 triliun rupiah,” kata Agusman dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Dewan Komisioner Bulanan Maret 2025 pada Jumat (11/4/2025).
Namun, peningkatan pembiayaan ini juga diiringi oleh naiknya tingkat wanprestasi (TWP90) atau kredit macet. Pada Februari 2025, TWP90 tercatat sebesar 2,78%, naik dibanding Januari yang berada di level 2,52%.
“Tingkat risiko kredit macet secara agregat atau yang kita kenal dengan TWP 90 berada di posisi 2,78%. Pada Januari yang lalu, tercatat 2,52%,” ujar Agusman.
Baca Juga
Selain itu, sektor buy now pay later (BNPL) yang disalurkan melalui perusahaan pembiayaan juga menunjukkan pertumbuhan.
Per Februari 2025, pembiayaan BNPL meningkat 59,1% YoY, jauh melampaui pertumbuhan Januari yang sebesar 41,9% YoY. Nilai pembiayaannya mencapai Rp8,2 triliun, dengan rasio kredit bermasalah (NPF gross) sebesar 3,68%.
Agusman menyampaikan bahwa OJK terus mengawasi pemenuhan kewajiban ekuitas minimum oleh para penyelenggara fintech P2P lending. Hingga awal April 2025 masih terdapat 10 penyelenggara fintech P2P lending yang belum memenuhi ketentuan ekuitas minimum.
Dari 10 penyelenggara yang teridentifikasi, dua di antaranya masih dalam proses analisis pemenuhan peningkatan modal.
“OJK terus melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mendorong pemenuhan kewajiban ekuitas minimum dimaksud, baik berupa injeksi modal dari pemegang saham, maupun dari strategic investor yang kredibel, termasuk opsi pengembalian izin usaha,” tutup Agusman.